Sabtu, 12 Maret 2011

ANALISIS CERPEN , CINTA LAMA BERSEMI KEMBALI

         Cerpen yang berjudul cinta lama bersemi kembali. yang dikarang oleh lisin
sewaktu di SMA akuy pernah jatuh cinta pada seseorang yang tak TAK KAN PERNAH akau lupakan, masa-masa itu adalah masa dimana aku sangat ingin sekali mencari sesuatau yang membuat semangat diriku. bulan-demi bulan berlalu aku mulai merasakan ada sesutau yang timbul pada diri ku yang sebelumnya tak pernah rasakan, tapi apa kawan cintaku hanya sebatas waktu yang belum pernah ku ungkapkan selama ini. pada akhir ujian sewaktu SMA aku mulai melupakan “dia”, tapi kawan untuk melupakannya sungguh sulit sesulit mencari jarum dalam jerami. sungguh mengensankan bukan. tapi aku menyedari bahwa cinta tak harus memiliki. tak kusangka dan tak kukira sesosok itu muncul kembali saat perkuliahan, !!!!! YANG TAKKAN MELUPAKAN??????
        cerita ini dengan menyampaikan jalan cerita yang mengarah kedepan atau alur cerita maju cerita pendek ini semakin menarik apa bila kita perhatikan setting cerita yang memang cocok dengan kondisi saat ini....................secara kita masih muda lhoooooooooooo!
                                     CINTA LAMA BERSEMI KEMBALI



sewaktu di SMA akuy pernah jatuh cinta pada seseorang yang tak TAK KAN PERNAH akau lupakan, masa-masa itu adalah masa dimana aku sangat ingin sekali mencari sesuatau yang membuat semangat diriku. bulan-demi bulan berlalu aku mulai merasakan ada sesutau yang timbul pada diri ku yang sebelumnya tak pernah rasakan, tapi apa kawan cintaku hanya sebatas waktu yang belum pernah ku ungkapkan selama ini. pada akhir ujian sewaktu SMA aku mulai melupakan “dia”, tapi kawan untuk melupakannya sungguh sulit sesulit mencari jarum dalam jerami. sungguh mengensankan bukan. tapi aku menyedari bahwa cinta tak harus memiliki. tak kusangka dan tak kukira sesosok itu muncul kembali saat perkuliahan, !!!!! YANG TAKKAN MELUPAKAN??????

Bagaimana saya menulis

Bagaimana Saya Menulis

Bagaimana Saya Menulis
Judul : Bagaimana Saya Menulis
Harga :
RM25.00

Nombor siri : 2122126
Status Stok: Stok masih ada
Masukkan buku ke dalam troli belian
Judul : Bagaimana Saya Menulis : Proses Penciptaan Cerpen
Penyusun : Mawar Safei & Nisah Haji Haron
Penerbit : Dewan Bahasa dan Pustaka
Genre : Kumpulan Cerpen & Esei Proses Kreatif
Mukasurat : 350 halaman
Cetakan Pertama : 2011
ISBN : 9789834606626



Buku "Bagaimana Saya Menulis : Proses Penciptaan Cerpen" menelusuri pengalaman 17 penulis karya kreatif dalam menghasilkan karya mereka. Menerusi sebuah cerpen terpilih yang dijadikan paksi perbincangan, setiap penulis menghuraikan tentang proses kreatif mereka terutama dari segi latar, pengalaman peribadi, pelukisan watak dan perwatakan hingga memungkinkan cerpen mereka dihasilkan dan menjadi sebuah karya yang bermakna.

Buku ini memperlihatkan kepada khalayak bahawa penulis dengan karya-karya mereka mempunyai hubungan yang sangat erat, sekali gus boleh menjadi panduan dan rujukan kepada khalayak mendapatkan gambaran jelas tentang bagaimana proses kreatif seseorang penulis berlangsung.


KANDUNGAN
Pengenalan  

1. Aminah Mokhtar  
Ya Allah Dia Menangis  
Proses Kreatif "Ya Allah Dia Menangis"  

2. Faisal Tehrani  
Perlak Emak  
"Perlak Emak": Sebuah Kisah Kreativiti Taman Melayu  

3. Jais Sahok  
Jiji - Moga-moga Kau Mendengar  
Proses Kreatif Penghasilan Cerpen "Jiji - Moga-moga Kau Mendengar"  

4. Kamariah Kamaruddin  
Tentang Hijab  
Bagaimana "Hijab" Terhasil  

5. Maskiah Masrom  
Nyanyi Sunyi  
Proses Kreatif Cerpen "Nyanyi Sunyi"  

6. Mawar Safei  
Dia dari Penjuru Tahun Lalu  
Proses Kreatif "Dia dari Penjuru Tahun Lalu"  

7. Mohd Nazmi Yaakub  
Selirat Derita Pun Terurai  
Proses Kreatif "Selirat Derita Pun Terurai"  

8. Muhd Nasruddin Dasuki  
Kelekatu Bersayap Ungu  
Proses Kreatif "Kelekatu Bersayap Ungu"  

9.   Nisah Haji Haron  
Pusaka Cendana  
Ilham dan Cetusan Menulis "Pusaka Cendana"  

10.   Rahimidin Zahari  
Pak Da Megat Wan Setapa Mek Mah Tuk Bagih  
Proses Kreatif "Pak Da Megat Wan Setapa Mek Mah Tuk Bagih"

11.   S.M. Zakir  
Cerita untuk Teman-teman  
Menulis Adalah Permainan Silap Mata  

12.   Saharil Hasrin Sanin  
Air Mata Orang Kaya  
Penulis Adalah Penipu: Proses Penciptaan Cerpen "Air Mata Orang Kaya"     

13.   Salina Ibrahim  
Imam  
"Imam" Suatu Terapi Diri  

14.   Samsiah Mohd. Nor  
Lazuardi  
Proses Kreatif "Lazuardi": Kolaborasi Catatan Tiga Pengalaman

15.  Siti Jasmina Ibrahim
Kelir
Bagaimana Saya Menulis (Proses) -Cerpen "Kelir"

16.  Siti Raihani Mohd. Saaid
Seniman Rajemee
Proses Kreatif "Seniman Rajemee"

17.  ZaidAkhtar
Pendedahan
"Pendedahan" antara Intertekstual dengan Isu Semasa (Menyorot Satu Lagi Sisi Hang Tuah)

Biodata Penulis


 

Pengenalan
Kalender Aktiviti
Cara Pembayaran
Keistimewaan Kami
Misi
Untuk Penulis
GAPENA
All rights reserved. Copyright Ujanailmu 2011. Shopping Cart Software By InstanteStore.com.
Shopping

Memaknakan cinta

Memaknakan Cinta

Memaknakan Cinta
Judul : Memaknakan Cinta
Harga :
RM19.00

Nombor siri : 4443129
Status Stok: Stok masih ada
Masukkan buku ke dalam troli belian
Judul : Memaknakan Cinta
Pengarang : Salina Ibrahim
Penerbit : Al-Ameen Serve Holdings Sdn Bhd
Genre : Kumpulan Cerpen
Mukasurat :178  halaman
Cetakan Pertama : 2010
ISBN : 9789673620579



Salina Ibrahim dengan 20 cerita pendek yang mengujakan, menghiburkan, menginsafkan, mengundang kesyahduan serta membawa peringatan.

Kandungan


Sebuah Dendam
Mencari Diri
Menongkah Arus
Cerai?
Bisik pada Angin
Tulus Cinta Abah
Mencari Mariam
Ombak jahat
Melunas Dendam
Memaknakan Cinta
Imam
Mamaku Menteri
Akademi Idola
Terbang ke Langit
Mimpi Syawal
Tiang Seri
Pulangkan Bahagia
Liyya Saffura Si Penggembala
Tinggalkan Bintang Jauh Itu
Gelombang


 

Pengenalan
Kalender Aktiviti
Cara Pembayaran
Keistimewaan Kami
Misi
Untuk Penulis
GAPENA
All rights reserved. Copyright Ujanailmu 2011. Shopping Cart Software By InstanteStore.com.

Kamis, 10 Maret 2011

Aku tak bisa mencintaimu lagi

Pelan saja Bagosa menurunkan kakinya yang berada di atas sofa dengan mata tertuju ke arah Aldi. Tak ada syarat yang terlihat dari mata yang tertuju lekat-lekat pada layar televisi.
Bagosa menghembuskan napasnya kuat-kuat. Berharap Aldi akan menoleh ke arahnya, dan mengangguk mengerti dengan tindakan yang baru saja ia lakukan.
"Kenapa?" Sebuah tanya dari Aldi menghilang begitu saja ketika suara pintu yang ditutup keras-keras seperti dibanting terdengar menandingi suara Aldi.
Tak ada tanggapan dari Aldi kecuali hanya mengedikkan bahunya dan menggelengkan kepalanya.
"Aku mau pulang," Bagosa mendekat ke arah Aldi. Ditepiskannya jemari Aldi yang ingin menyentuh jemarinya sambil menggeleng keras-keras. "Aku mau pulang," ulangnya. Kali ini Bagosa menendang kaki Aldi sedikit keras hingga Aldi meringis dan mengalihkan tatapanya pada Bagosa.
"Janjimu...."
Bagosa mengangguk. Menghembuskan napasnya lagi. Ah, betapa ia sudah tak kuat dengan situasi yang ada. "Aku melakukan kesalahan," bisiknya.
Aldi mengernyit. "Terlalu takut."
"Masalahnya...," Bagosa menggeleng. Aldi tidak akan mengerti apa yang ada di hatinya setelah tadi tatapan dari Mama Aldi mengarah padanya. Meski dengan senyum, ia tahu senyum itu keluar cuma untuk basa-basi. Ada kebencian yang tersimpan. Ada kesinisan yang memaksanya untuk mengerti isyarat tidak suka akan kehadirannya di sini.
Mungkin ia yang salah. Dan bodohnya ia, kenapa tadi begitu cueknya menaikkan salah satu kakinya ke sofa meskipun dengan posisi tertekuk karena tidak tahan dengan nyamuk yang menggigit kakinya.
"Bodohnya...!"
"Tunggu sampai film ini selesai kalau kamu mau diantar pulang."
Bagosa menggeleng.
"Tadi katanya...?"
"Tiba-tiba aku sakit perut."
Aldi terbahak. Melihat ekspresi Aldi yang tertawa itu, sebenarnya Bagosa ingin mengikuti untuk tertawa. Biasanya juga begitu yang mereka lakukan. Tapi ia mulai mendengar suara pintu kamar tidur utama terbuka dan langkah diseret menuju ke arah Aldi. Refleks, Bagosa berpindah tempat hingga posisinya tidak berdempetan dengan Aldi.
"Kamu tidak ke mana-mana hari ini, kan?" tanya itu ditujukan ke arah Aldi. Cuma Aldi. Karena mata itu tidak memandang ke arah Bagosa sedikit pun. Meliriknya pun tidak.
"Antar Bagosa pulang, Ma. Memangnya Mama mau...."
"Kamu harus antar Mama jam empat nanti. Sekarang sudah jam setengah empat."
Sebuah pengusiran halus yang diucapkan seperti ultimatum dengan tindakan meninggalkan Aldi dan ia kembali masuk ke dalam kamar. Lagi-lagi dengan suara pintu yang sepertinya sengaja ditutup keras-keras.
"Aku harus pulang," Bagosa menatap Aldi.
"Mama memang begitu...."
"Aku harus...."
"Jangan takut begitu, dong. Lihat, muka kamu pucat seperti habis melihat hantu. Kebiasaan jelek Mama memang begitu. Terlalu selektif memilih calon menantu," Aldi meringis. "Ujian baru dimulai. Kamu tidak berniat untuk mundur, kan?"
Tak peduli dengan apa yang Aldi katakan, Bagosa cepat beranjak dari duduknya. Tak berani ia menarik tangan Aldi yang terjulur seperti minta dibantu untuk bangkit dari duduknya.
"Harus pamit dulu sama Mama."
Kalau Bagosa menyebut nama Tuhan berkali-kali dalam hatinya saat ini, itu dikarenakan ia takut dengan apa yang akan terjadi nanti setelah Aldi mengetuk pintu kamar tidur utama.
"Kamu harus pulang cepat...!" Cuma itu suara yang terdengar untuk menyahuti panggilan Aldi lewat ketukan pintu. Tak ada kepala yang tersembul untuk sekedar memamerkan senyum.
Bagosa mengelus dadanya.
Tiba-tiba ia merasakan belum siap dengan ujian yang Aldi katakan.
***
"Kenapa menghindariku?" tanya itu meluncur ketika Bagosa baru saja mengangkat horn telepon dan mendekatkannya ke telinganya. Ada yang terasa lain ketika mendengar suara Aldi di seberang sana. "Ada acara bagus, nih. Pertunjukan wayang orang...." Aldi terbahak. Pasti tidak suka, kan?"
"Bicara yang jelas!" protes Bagosa dengan suara sedikit meninggi. Kepalanya pening akibat kejadian di rumah Aldi kemarin. Dan sejak kemarin itu, ia memang berniat untuk tidak menghubungi atau bertemu dengan Aldi dalam sementara waktu. Perasaan sentimen dan sensitifnya harus dihilangkan dulu.
"Mama memintaku...," Aldi seperti sengaja menggantung kalimatnya. "Tidak percaya, kan?"
Bagosa menguap. Sengaja mengeraskan suaranya agar Aldi tahu bahwa ia tak ingin mendengar ceritanya itu.
"Mama memintaku mengajakmu untuk menemaninya pergi ke pesta pernikahan anak kawannya...," Aldi tertawa lagi. "Ngerti kan meski bicaraku berbelit-belit begitu?"
"Kamu...."
"Waktu pertama jadi pacarku kan aku sudah bilang bahwa kamu akan melewati berbagai macam ujian dari Mamaku yang begitu sayang dengan anak sulungnya. Dan kamu bilang setuju sambil belajar mengerti karakter orang tua Jawa seperti Mamaku. Ingat juga kan waktu kamu bilang bahwa kamu ingin sekalian menghilangkan sifat cuekmu karena terlalu lama tinggal di Jakarta."
"Tapi...."
"Mau belajar jadi Putri Solo, kan? Please, Bagosa...."
Dan entahlah, apa yang membuat Bagosa pada akhirnya menganggukkan kepala dan mengucapkan kalimat 'ya' sebagai tanda persetujuan atas ajakan Aldi.
Setelah horn telepon diletakkan pada tempatnya, yang terpikirkan di kepala Bagosa cuma satu. Busana apa yang harus dikenakannya nanti agar ujian dari Mama Aldi terhadapnya berjalan lancar?
***
Pesta pernikahan itu sebenarnya meriah. Dan makanan yang dihidangkan pun menarik selera. Tapi segalanya jadi berantakan karena Bagosa tidak tertarik sama sekali akibat suasana hatinya yang tidak mendukung.
"Di Solo kos? Gadis-gadis Jakarta memang pemberani. Tapi kadang kurang dapat menyesuaikan diri dengan keadaan di sekeliling."
Itu komentar pertama ketika Bagosa baru saja memasuki rumah Aldi. Aldi sepertinya sengaja disembunyikan hingga dikatakan anak itu sedang tidak ada di rumah.
"Warna pakaianmu tidak cocok untuk pesta malam ini."
Komentar kedua yang masih bisa ditolerir Bagosa.
"Harusnya Aldi mendapatkan gadis seperti Rieke. Ingat gadis yang tadi dikenalkan, kan? Orangtuanya cukup berpendidikan dan akrab dengan keluarga kami. Tapi dasar saja Aldi yang keras kepala. Mama harus menuruti keinginannya dahulu. Yang Mama yakin cuma satu. Pada suatu saat, Aldi pasti mendapatkan gadis seperti yang Mama inginkan. Untuk sementara waktu, biar Mama yang bersabar. Baru tahun kemarin lulus SMA, tentunya agak sulit untuk memaksa menentukan gadis pilihan Mama."
Komentar ketiga yang berkepanjangan yang membuat Bagosa menulikan telinganya dengan mencoba berkonsentrasi pada keadaan ramai di sekelilingnya.
"Lekas-lekaslah kamu mencari laki-laki lain biar Aldi tidak lagi dekat-dekat denganmu."
Ada tambahan sakit hati lagi.
"Calon menantu? Bukan. Kebetulan sekali saja anak-anak sedang tidak ada di rumah. Jadi saya mengajak gadis ini. Katanya ingin belajar banyak tentang Solo. Gadis Jakarta. Maklum...."
Tawa yang meluncur itu dengan mata yang melirik ke arah Bagosa membuat Bagosa menjadi muak.
Makanan dan keramaian tidak lagi menarik perhatiannya. Ia cuma ingin cepat-cepat pulang. Ia cuma ingin cepat-cepat menumpahkan tangisnya di dalam kamarnya.
***
"Bagosa...."
Masih dengan ransel di punggungnya, Bagosa jongkok di bawah pohon di halaman kampus. Seperti tidak mempedulikan kehadiran Aldi, tangan Bagosa sibuk membuka lembaran koran yang terhampar di hadapannya.
"Kamu marah?"
Bagosa diam.
"Ujiannya masih banyak dan sepertinya aku sudah tidak kuat untuk bertahan."
Bagosa diam.
"Bagosa, please...."
Bagosa cuma diam. Aldi seperti cowok cengeng begitu. Wajahnya terlihat memelas ketika memandangi Bagosa. Ah, dungu sekali Bagosa bisa menambatkan hati pada cowok itu.
Gara-bara bertabrakan di kantin kampus. Kebetulan Bagosa sedang sibuk memesan minuman untuk rapat organisasi dan Aldi tengah bersiap membayar makanannya.
Tidak saling mengenal. Tapi swear saja, Bagosa sudah tertarik ketika melihat Aldi untuk pertama kali. Makanya acara tabrakan di kantin itu bisa jadi sarana yang menyenangkan untuk Bagosa karena bisa lebih mengenal Aldi.
Sesuatu kemudian akhirnya memang berlanjut. Yakin saja bahwa cowok pendiam seperti Aldi, jatuhnya justru pada cewek-cewek seperti dirinya.
Dan kenyataan itu terjadi. Tapi sayangnya, Bagosa tidak pernah memperhitungkan yang lain. Kecuekannya yang disenangi Aldi ternyata sulit untuk diterima oleh Mama Aldi.
"Gue udah dapat cowok Solo. Asli, lho. Kalem orangnya. Yakin deh, kalau bukan gue yang selingkuh, pasti hubungan kita akan awet selamanya," begitu sms yang Bagosa kirim untuk teman-temannya di Jakarta.
"Bagosa...."
Sentuhan jemari Aldi pada rambut Bagosa membuat Bagosa mau tidak mau harus memperhatikan Aldi.
"Kamu marah?"
"Masalahnya...."
"Yang tidak cocok cuma Mama, kan? Kedua adikku justru dekat denganmu. Kitty beberapa hari belakangan ini sering menanyakan kamu. Ada konser musik grup kesayangannya yang akan tampil di GOR Manahan. Dia ingin mengajakmu."
"Masalahnya...."
"Aku kan bisa merayu Mama."
Bagosa terdiam untuk beberapa saat. Kasihan juga sebenarnya melihat wajah Aldi yang memelas. Tapi sakit di hatinya belum bisa hilang cepat. Yang ada cuma bayangan Mama Aldi dengan senyum sinis dan kalimat yang meluncur menyakitkan.
"Bagosa...."
"Tidak tertarik dekat dengan gadis-gadis yang ditawarkan Mamamu?"
"Kamu...."
"Kalau kamu tertarik, sebelum yang ada di hati semakin besar, aku bisa mundur. Masih banyak cadanganku." Sengaja kalimat itu diucapkan Bagosa. Ditambahi dengan gerakan tangan Bagosa yang melambai ke arah beberapa cowok yang melintasinya. Lalu tertawa menggoda mereka.
"Mungkin Mama benar...," pada akhirnya Aldi melangkah meninggalkan Bagosa tanpa menoleh lagi.
Dan Bagosa tidak mengerti, ia harus tertawa atau menangis untuk saat ini.
***
Rumah besar berkesan angkuh yang terletak di jalan Slamet Riyadi itu, sebenarnya sudah ingin Bagosa tinggalkan beberapa waktu yang lalu ketika keputusasaan telah menderanya. Tekadnya sudah bulat. Ia tidak ingin terikat dengan cowok cengeng. Begitu banyak cowok yang jatuh cinta padanya, lalu kenapa ia harus bersandar pada Aldi yang berada di bawah pengaruh sangat kuat dari Mamanya?
Bagosa mengusap wajahnya.
Berapa lama ia tidak menjumpai Aldi? Seminggu? Dua minggu? Rasanya lebih. Dan ia tidak berniat menghitungnya karena sudah ia tanamkan dalam-dalam bahwa Aldi cuma bagian kecil dari kehidupannya di kota kecil seperti Solo.
"Mas Aldi tabrakan. Gara-gara Mama, sih. Sepanjang perjalanan Mama ngomel terus sama Mas Aldi. Trus, Mas Aldi jadi tidak konsentrasi. Trus...," begitu pengakuan Kitty pada Bagosa di telepon. Isak tangisnya jelas sekali membuat Bagosa yang hampir terlelap tidur jadi lantas membuka matanya lebar-lebar.
Bagosa masih diam menyimak.
"Di rumah sakit, cuma nama Mbak Bagosa yang dipanggil-panggil. Kasihan, kan?"
Dan kalimat itu menyentuh perasaan Bagosa. Tapi belum ada niat di hatinya untuk datang mengunjungi Aldi. Masalahnya, ia cuma takut Kitty berbohong karena disuruh Aldi. Masalahnya bayang-bayang Mama Aldi menghantuinya.
Sebenarnya, bisa saja ia bersikap tidak peduli. Tapi itu tidak berani ia lakukan. Setahun tinggal di Solo telah mendidiknya banyak hal tentang kesopanan yang harus diikuti.
Sampai, sebuah ketukan di pintu kamar kosnya mengejutkannya. Dan hampir membuat Bagosa loncat dari tempatnya berdiri.
"Aldi kecelakaan. Mama berharap banyak padamu...." Cuma kalimat itu yang terucap dengan airmata yang tak henti mengalir, yang pada akhirnya meruntuhkan hati Bagosa. Entah ke mana ia buang sakit hatinya pada saat itu.
Dan kalau sekarang, besok maupun seterusnya Bagosa berdiri dan menjadi bagian dari rumah besar itu, jangan salahkan dirinya. Salahkan takdir yang membuatnya harus mengikuti apa yang Tuhan atur.
Sebuah kesombongan barangkali harus diruntuhkan dengan peristiwa kecelakaan itu.
"Bagosa...."
Sebenarnya Bagosa sudah mendengar bunyi derit kursi roda. Tapi Bagosa mencoba untuk tidak begitu antusias menyambutnya. Sebagian hatinya juga mendukung hal itu.
"Aku menunggumu sejak siang tadi. Kenapa baru datang? Banyak kuliah tambahan atau terlalu banyak teman yang mengajakmu pergi? Frans dan lainnya pasti senang ya, melihat aku jadi lumpuh begini. Dia masih mengejar-ngejar kamu, kan?"
Seperti tidak peduli, Bagosa justru menghampiri rumpun melati tak jauh dari tempatnya. Beberapa bunga yang ada diambilnya dan dimasukkan ke dalam saku celana jeansnya.
"Mama menyuruhmu untuk menemaniku sampai malam nanti. Yang lainnya pergi. Ada buku-buku yang harus kamu bacakan untukku. Sekarang, aku lebih senang mendengar suaramu membacakan cerita untukku daripada aku membacanya sendiri."
Bagosa menghembuskan napasnya. Sampai terlihat oleh matanya tirai di kamar tidur utama tersingkap dan wajah Mama terlihat memperhatikan. Tapi cepat-cepat ditutup kembali setelah mengetahui Bagosa memperhatikan hal itu.
"Bagosa, liburan ini kamu tidak jadi ke Jakarta, kan? Aku bisa frustasi kalau kamu pergi. Lagipula, Mama sudah merestui hubungan kita. Kata Mama, kamu sudah seperti gadis Jawa. Ah, kalau Papa masih ada, beliau pasti senang berkenalan denganmu."
Bagosa menghembuskan napasnya lagi. Lagi. Kakinya bergerak mendekati Aldi dan mendorong kursi roda Aldi perlahan.
"Aku mencintaimu, Bagosa...."
Bagosa diam. Ada yang menitik perlahan yang cepat dihapuskannya ketika mendengar suara langkah diseret menuju ke tempat ia dan Aldi berada. Mama!
"Mama merestui, kan?" tanya Aldi pada Mama.
Dan Bagosa melihat kepala yang mengangguk perlahan. Namun sorot matanya terlihat kaku dan masih tak bersahabat.
Bagosa mengelus dadanya. Seperti mencari tahu apa yang ada di hatinya.
Rasa-rasanya, tidak sebesar dulu apa yang tersimpan di hatinya untuk Aldi. Semuanya sudah berubah. Dan memang ia gadis yang cepat berubah.
Bagosa menggigit bibirnya.
Belum ada bayangan cowok lain memang. Tapi cinta di hatinya untuk Aldi luntur perlahan. Aldi bukan tipe seperti yang ia inginkan. Lagipula, ia bukan tipe yang diinginkan Mama Aldi.
"Bagosa aku mencintaimu...."
Bagosa tak menjawab tapi terus mendorong kursi roda Aldi.
Saat ini, hatinya merasa sunyi.
Saat ini, ia seperti menjadi orang lain! ©

Ada cinta dalam dada

Miky tersentak bangun. Peluh menitik di wajahnya. Barusan ia bermpimpi Jerry menghancurkan keramik kesayangannya. Dalam mimpinya tadi, Miky sudah menyembah agar Jerry tidak melakukan itu. Tapi....
Nola dan Riya yang sedang merumpi di tempat tidur sebelah menatap bingung padanya.
"Kamu kenapa, Mik!"
Miky tergagap.
"Mimpi seram, ya? Sampai mandi keringat begitu!"
"Makanya jangan suka tidur kalau sore," sambung Riya.
"Aku bermimpi Jerry menghancurkan keramik kesayanganku," terang Miky. Matanya beralih pada keramik berbentuk dua remaja tengah duduk memancing di tepi kolam. Tangan kanan si lelaki memegang pancing sementara tangan kiri merangkul bahu sang dara, dengan kepala menyandar di bahu sang lelaki.
Tinggi keramik itu sekitar dua puluh sentimeter. Dipajang di atas meja belajar. Miky memang sangat sayang pada keramik itu. Itu oleh-oleh terakhir Mama sepulang dari Cina. Karena waktu itu mobil yang ditumpangi Mama kecelakaan sepulang dari bandara. Sedang Mama meninggal di tempat.
"Ah, Jerry lagi!" ujar Riya kesal.
"Edan, memang tahu dari mana Jerry, kalau kamu punya keramik itu?"
"Mana aku tahu, La! Namanya juga mimpi."
"Mungkin itu sebagai pertanda Jerry tidak suka sama kamu. Kalau dia menyukaimu, tidak mungkin dia tega menyakiti hatimu."
Miky terpekur. Barangkali benar ucapan Riya barusan. Buktinya, sudah dua tahun lebih mereka satu kampus. Sekali saja Jerry tidak pernah menegur dirinya. Padahal terlalu sering Miky 'mendekati'nya. Misalnya, ketika Jerry dan teman-temannya makan di kantin. Miky selalu ada di sana. Duduk tidak jauh dari Jerry. Makan dan diam. Tapi salah tingkahnya minta ampun. Pikirnya, pasti Jerry melahap segala geraknya. Bila Miky mencuri tatap, rasa kecewa selalu menghantam dada. Seperseratus detik saja Jerry tidak pernah melirik padanya.
Bahkan Jerry tidak menyadari kehadirannya di kantin. Yang lebih membuat sakit, Jerry tidak pernah tahu ada seorang Miky di dunia ini, yang mencintainya dengan sangat.
Ah, menyedihkan memang!
"Kamu sih, Mik, pasif banget. Kapan dapatnya tuh Jerry. Sementara dianya juga tidak pernah memperhatikanmu. Agresif sedikit, dong! Kasih sinyal bahwa kamu suka sama dia. Itu lebih baik daripada kamu diam saja. Seperti orang bilang: lebih baik gagal dalam usaha daripada tidak mencoba sama sekali. Makanya, Mik, sosor saja. Daripada ditangkap cewek lain. Kamu juga yang memble nantinya."
Lama Miky termenung. Bicara sih gampang, sungutnya. Memangnya banteng, main sosor. Jerry itu cowok manis. Imut begitu. Rada pendiam juga. Jadi pasti dia tidak suka sama cewek tomboi nan agresif.
"Aku pernah membaca di majalah, lebih baik hidup dengan orang yang mencintai kita, daripada dengan orang yang kita cintai."
"Artinya?"
"Miky harus melupakan Jerry. Dan menyambut cinta Angga. Itu akan membuat Miky jadi bahagia."
Miky menghela napas. Tanpa saran dari Nola, kalau memang bisa, sudah dari dulu dilakukannya. Bukannya Miky tidak pernah mencoba untuk beramah-tamah sama Angga. Miky ingin menjajaki perasaannya dulu. Seperti orang bilang, kebersamaan seringkali akan menimbulkan cinta. Tetapi ternyata, setiap kali dia berdekatan dengan Angga, selalu rasa jenuh dan bosan yang hadir. Barangkali memang, tidak ada cintanya buat Angga.
"Kurasa itu lebih baik, Mik!" Riya menyentuh tangannya. "Jerry saja tidak kenal sama kamu. Kamu juga tidak mau memperkenalkan diri."
Lagi-lagi Miky menghela napas. Membuang pandangan mata keluar jendela. Cuaca yang mendung, membuat dia keenakan di tempat tidur.
***
Miky membuang napas. Mengalihkan pandang pada mahasiswa yang lalu lalang.
"Mik!"
Miky menoleh sebentar.
Angga menatap lembut. Miky benci itu. Harusnya Angga tahu, hati Miky tidak bisa dipaksa untuk mencintainya.
"Mik!"
Miky tidak tahu harus berkata apa. Ia tidak tega untuk menolak. Angga begitu baik padanya. Tetapi ia juga tidak mampu meluluskan permintaan itu.
"Jawablah, Mik!"
"Kenapa harus aku, Ang? Masih banyak yang lain," desisnya nyaris tidak terdengar.
"Jadi kamu menolak?" patah suara Angga.
Ingin Miky mengangguk. Lehernya terasa kaku. Ia tatap wajah Angga yang sendu.
"Tolonglah, Mik. Kita hanya bersandiwara di depan Mamaku. Agar Mama senang. Itu saja."
"Tapi...."
"Aku tahu kamu tidak mencintaiku. Aku juga tidak memaksa agar kamu mencintaiku. Tapi kumohon, mengertilah, Mik! Ini atas keinginan Mama. Mama ingin ketemu kamu. Dokter bilang, penyakit Mama tidak lagi tertolong. Tinggal menunggu waktu."
"Apa hubungannya sama aku?"
Angga menunduk. "Setahu Mama, kamu pacarku."
Berlipat kening Miky.
"Waktu kamu kuperkenalkan sama Mama, ia bilang suka sama kamu. Karena aku juga suka sama kamu, jadi kubilang saja kita pacaran."
Miky menatap tak suka.
Angga makin menunduk.
"Kamu lancang, Ang!"
"Maaf, aku memang tidak tahu diri."
Miky mengalihkan tatap. Ia tertegun. Dadanya berdebar lebih kencang. Di ujung koridor kelas Jerry berjalan sendiri.
"Mik!"
Miky tergagap.
"Kamu suka sama dia?"
"Kenapa kamu bertanya begitu?"
"Matamu selalu penuh kekaguman bila menatapnya."
Miky menunduk. Ia yakin wajahnya memerah.
"Benar kan, Mik?"
"Jam berapa kamu menjemputku?" tanya Miky mengalihkan pembicaraan.
Senyum Angga mengembang. Kedua bola matanya berbinar-binar. "Kamu serius, Mik?" suaranya hampir tidak percaya.
Miky mengangguk lemah.
***
Miky melepas cincin emas itu dari jari manisnya. Ia angsurkan pada Angga yang pegang setir. Mereka baru pulang dari rumah sakit. Menjenguk Mama Angga.
"Cincin itu sudah dikasih Mama sama kamu. Jadi pakai saja."
"Andai Mamamu tahu cerita sebenarnya, tentu beliau tidak akan memberikan cincin ini padaku."
Sekilas Angga menoleh. Ia menghela napas. Betapa aku ingin meraihmu. Memberimu bahagia sepanjang hidupku. Tapi mengapa hatimu terlalu jauh untuk kugapai?
"Ambillah, Ang! Aku tidak pantas memakai ini."
"Kalau kamu tidak mau memakainya, buang saja. Itu hakmu!" Dingin suara Angga.
Miky terkesiap mendengar suara itu, sampai ia lupa menarik tangannya yang masih mengangsurkan cincin itu. Angga salah menduga, ia kira Miky bersikeras mengembalikannya.
Angga merenggut cincin itu dari tangan Miky dan melemparkan keluar dari jendela mobil yang terbuka setengah. Mobil berhenti tiba-tiba. Bisa saja Miky terjerembab kalau tidak segera menahan keseimbangan tubuh.
"Ang...." pekik Miky.
"Kamu terlalu sombong, Mik! Aku masih bisa terima kamu menolakku. Tapi menolak pemberian Mama? Dengn tulus ia memberi, apa salahnya kamu terima. Atau setidaknya pura-pura kamu terima, lalu kamu campakkan ke comberan tanpa sepengetahuanku." Tinggi suara Angga. Dari tarikan napas yang keras, terlihat Angga tidak bisa membendung emosinya.
"Aku...."
"Maaf, maafkan aku, Mik!" Angga meraih tangan Miky. "Aku khilaf. Itu karena aku kecewa pada diriku sendiri. Mengapa aku tak mampu mendapatkanmu. Hingga terpaksa membohongi Mama di akhir hidupnya."
Miky membuang napas haru.
"Sekali lagi aku minta maaf sama kamu. Juga terima kasih mau menerima undangan Mama. Walau kita hanya memberi Mama kebahagiaan semu."
"Cincin tadi, Ang!"
"Biarlah, kalau kamu susah dibuatnya."
***
Sesaat mata mereka bertemu. Cepat Miky menunduk. Sungguh, ia merasa gugup menentang tatapan cowok itu. Lututnya lemas. Sampai kakinya bergetar.
"Maaf, saya buru-buru. Tidak melihat kamu mau keluar," cowok itu berkata. Tangannya memunguti buku Miky yang terjatuh ke lantai. Lalu ia serahkan ke Miky yang mematung.
Tanpa suara Miky berlalu. Bukan apa-apa. Ia sibuk menata detak jantungnya. Kalau saja dia tahu, makhluk yang menabraknya adalah Jerry, tentu Miky sudah pura-pura terjatuh. Atau pingsan sekalian. Agar Jerry membopong tubuhnya, tidak hanya berkata maaf.
Mata Jerry mengawasi Miky dari belakang.
"Gila, cantik banget! Stambuk baru, ya?" tanyanya pada kawannya.
"Payah kamu. Itu kan Miky. Anak Ekonomi, semester lima. Makanya matamu itu harus jelalatan lihat cewek. Jangan Cuma melototi buku melulu."
Jerry meringis. Di benaknya berkelebat kejadian barusan. Mereka bertabrakan di pintu perpustakaan. Wajah Miky terbenam di dadanya. Dan sampai saat ini, harum rambut Miky masih terasa pada setiap tarikan napasnya.
"Siapa tadi namanya?"
"Miky. Miky Saraswati."
***

"Mik!"
"Hem," sahut Miky. Tangannya sibuk memoles pewarna di bibirnya.
"Angga baru telepon."
Dari kaca rias ia melirik Nola yang berdiri di sampingnya.
"Terus?"
"Ia minta kamu ke rumah sakit. Mamanya kritis. Katanya sudah tidak ada harapan lagi. Ini juga atas permintaan Mamanya."
Miky menarik napas keras. Sejurus ia menatap Nola.
"Malam ini Jerry mengundangku ke rumahnya. Ada pesta perak perkawinan orangtuanya."
"Jadi kamu menolak?" Kening Nola mengerut.
"Terpaksa."
"Kan bisa, Mik, sekarang kamu pergi dulu ke rumah sakit. Baru ke rumah Jerry."
"Sebentar lagi Jerry menjemputku. Apa tanggapannya kalau aku pergi ke rumah sakit menjenguk Mama Angga."
"Dalam situasi seperti ini, Jerry pasti mengerti."
"Tidak bisa, La! Aku sudah bosan mengikuti sandiwara Angga."
"Kamu tidak punya perasaan, Mik!" desis Nola tajam. "Apa salahnya memenuhi keinginan Mamanya itu. Apa salahnya kamu membahagiakan hati orang di akhir hidupnya?"
"Aku...."
"Aku baru tahu, ternyata kamu sangat egois!" Nola berjalan ke pintu. Tidak ada gunanya membujuk lagi. Di ambang pintu Nola berhenti, berbalik menatap Miky.
"Cintamu pada Jerry terlalu buta, kurasa. Sampai kamu tidak bisa memilih mana yang harus diutamakan."
Miky tidak akan diam andai saja Nola tidak keburu membanting daun pintu. Ia tahu Nola marah padanya. Sebenarnya Miky juga tidak tega mengabaikan permintaan Mama Angga. Tapi dengan mengecewakan Jerry?
***
Miky menyusut butiran air di kedua belah pipi. Ada yang hancur dalam hati. Terasa sakit dan perih menusuk. Masih terbayang, ketika di pesta perak perkawinan orangtua Jerry kemarin, diumumkan juga pertunangan Jerry dengan anak gadis rekan kerja orangtua Jerry.
Terluka hati Miky. Meski tadi pagi Jerry datang menemuinya. Dengan sederet kata maaf berkata: ia sama sekali tidak mengetahui rencana pertunangan itu. Dengan linangan airmata berkata, hanya Miky yang ada dalam hatinya.
Semua itu tidak berguna. Karena nyatanya Jerry bertunangan dengan gadis itu. Dan hati Miky terlanjur luka.
"Mik...."
Cepat Miky menghapus airmata di pipinya, sebelum menoleh ke asal suara itu.
"Kamu sudah sembuh?"
Menyipit mata Miky.
"Aku minta maaf, Ang. Waktu Mamamu...."
"Tak apa, Mik! Waktu itu Nola bilang kamu demam tinggi. Mama juga memaklumi hal itu."
Miky menelan ludah yang terasa pahit. Ah, Nola!
"Sebelum meninggal, Mama sempat bilang, agar aku selalu bersamamu. Mama yakin kamu gadis yang baik. Dan Mama akan melihat kita bahagia dari alamnya," Angga tertawa masam. "Mama memang sangat menyayangiku. Jadi Mama takut anak bungsunya ini salah pilih."
"Mengertilah, Ang!"
"Aku sangat mengerti, Mik. Aku juga akan bahagia bila kamu bahagia. Makanya, kejarlah impian kamu itu. Siapa namanya, Mik? Jerry, ya? Ah, dia memang amat istimewa."
Mendengar nama Jerry disebut, airmata Miky mengucur lagi. Ia teringat cintanya yang kandas terhempas.
"Ada yang salah dengan ucapanku?"
Miky menggeleng dengan bahu terguncang. Miky menggigit bibir, menahan tangis agar tidak sampai pecah berderai.
Dengan memberanikan diri, Angga meraih Miky ke dalam pelukan. Miky tidak menolak. Justru tangisnya semakin kuat. Hingga Angga jadi bingung. Tapi perasaannya berkata, ada masalah dengan hubungan Miky dan Jerry.
Tangan Angga bergetar mengelus rambut Miky. Ada yang nikmat ia rasakan kata airmata Miky menembus kemeja dan menyentuh kulit dadanya.
Oh, Tuhan!
Mimpi pun Angga tidak berani kalau Miky akan berada dalam pelukannya seperti sekarang.
Miky masih menangis dalam pelukannya. Kedua mata Angga memejam. Memohon dalam hati, semoga waktu berhenti sampai di sini, agar selamanya Miky berada dalam pelukannya. ©

Cinta yang sempat hilang

Ucapan salam yang disusul oleh ketukan pintu itu membangunkan Ale dari tidurnya. Ia lalu melangkah, karena suara itu amat dikenalnya.
Pintu terkuak. Seorang gadis manis dengan bola mata indah berdiri di hadapan Ale.
Ada senyum. "Kata Mbak Ratih, kamu tadi ke rumah?"
Ale mengangguk sambil membalas senyum gadis itu.
"Maaf ya, Le. Ada eskul tadi di sekolah, jadinya pulang agak terlambat."
"Sudahlah. Kamu masuk dulu, No. Ceritanya nanti saja di dalam." Ale melebarkan daun pintu. Retno melangkah masuk tanpa kata.
"Pulang sekolah, kamu langsung kemari?" tanya Ale, setelah mereka duduk.
Retno mengangguk. Ia menarik napas panjang dan mengeluarkannya pelan-pelan. Tampak lelah, raut wajahnya. Ale memandang gadisnya itu. Saya sayang kamu, No, gumam hatinya.
Ale tersenyum dan menggeleng pelan.
"Selesai eskul tadi, saya disuruh mengawasi anak kelas satu dan kelas dua yang lagi pada latihan paskibra. Awalnya sih saya menolak, karena saya ada janji dengan kamu. Tapi, Pak Indra mendesak saya agar mengawasi sekaligus memberi pengarahan kepada anak-anak tersebut. Beliau bilang, sayalah yang lebih mengerti tentang paskibra. Ya, sudah. Akhirnya saya nggak bisa menolak."
"Saya mengerti, No," kata Ale. "Saya malah bangga kamu banyak kegiatan. Ke toko buku dan nonton, itu kan masih banyak waktu."
Retno tersenyum. "Makasih, Le, kamu mau ngertiin saya."
Ale balas tersenyum. Cinta memang butuh pengertian, No! batinnya. Tapi, kenapa kamu harus berduspa kepada saya? Tadi saya ke sekolah kamu, No. Hendak menjemput kamu. Nggak ada eskul, dan nggak ada latihan paskibra di sana. Kenapa kamu harus berbohong pada saya, No? Ayolah, cerita kepada saya, ada apa dengan kamu? Karena saya amat mencintai kamu.
"Kapan naik gunung lagi, Le?" Pertanyaan Retno membuyarkan lamunan Ale.
Ale menoleh. "Mungkin liburan semester. Kuliah dan kegiatan amat menyita waktu saya," jawabnya.
"Nanti saya ikut lagi ya, Le," pinta Retno. "Saya sangat suka dengan suasana pegunungan. Alam hijau, sungai, dan ternak-ternak tani. Jakarta sumpek ya, Le. Polusinya sangat berbahaya."
Ale tersenyum mendengar kata-kata Retno yang agak puitis itu. Ia jadi teringat kembali awal pertemuan dengan Retno.
Waktu itu, Ale sedang melihat pesta seni pelajar se-DKI Jakarta di Bulungan. Ia yang sebagai wartawan lepas di sebuah majalah remaja, tertarik dengan seorang gadis yang telah memenangkan lomba baca puisi. Retno nama gadis itu.
Lewat situlah akhirnya mereka jadi akrab. Ale suka main ke rumah Retno, sementara Retno sering main ke kosnya Ale. Mereka sering bertemu, sering jalan sama-sma. Akhirnya, timbul rasa suka di hati mereka masing-masing. Mereka berpacaran.
"Kamu masih menulis cerpen, Le?" tanya Retno.
"Masih." Ale tersenyum.
"Tapi kok sekarang saya jarang lihat. Setiap saya baca tulisan kamu, paling wawancara profil, atau liputan remaja. Kenapa, Le?"
Ale kembali tersenyum. Ia amat suka dengan pertanyaan Retno itu. "Saya menulis cerpen kalau lagi ada ide. Kalau lagi suntuk, mumet, atau pusing, saja jarang bisa nulis cerpen," kata Ale.
"Berarti, saat ini kamu lagi suntuk, Le? Suntuk karena apa?"
Ale agak gugup ditanya seperti itu. "Saya rasa, setiap penulis pasti pernah merasakan kesuntukan, No. Itu biasa. Begitu pun yang terjadi dengan saya," jawabnya, setelah diam beberapa detik.
Retno memandang Ale dalam, seperti minta kebenaran dalam perkataannya.
Ale cuma mengembuskan napasnya. Sebenarnya, saya suntuk karena memikirkan kamu, No. Sekarang, sepertinya kamu berubah. Kita jarang ketemu lagi. Kamu terlalu banyak alasan untuk menghindar dari saya. Bahkan tadi, kamu sudah berani berbohong kepada saya. Kenapa ini, No?!
Apakah kamu sudah nggak menyukai saya lagi?! Atau kamu sudah bosan pacaran dengan saya?!
***
Diam-diam, Retno menyalahkan dirinya atas perbuatannya selama ini. Maafkan saya, Le. Akhir-akhir ini, saya sering mendustai kamu. Seharusnya, hal itu nggak pantas saya lakukan. Karena kamu begitu baik sama saya, kamu begitu mencintai dan menyayangi saya. Dan itu saya rasakan selama ini. Tapi... pantaskah saya untuk kamu cintai lagi, Le? Saya telah mendustai kamu, batin Retno.
Tadi, sebenarnya Retno pergi dengan Roni. Padahal sebelumnya, ia sudah janjian dengan Ale mau nonton dan ke toko buku. Tapi pesona Roni telah membuat Retno lebih baik mengingkari janjinya dengan Ale. Apalagi Roni, sang Ketua OSIS itu begitu banyak dikagumi oleh cewek-cewek di sekolahnya.
Kebanggaan?! Dapat menjadi pacar Roni memang suatu kebanggan. Tapi mendustai cinta tulus Ale, apakah suatu kebanggaan? Oh, ada sesak di dada Retno.
"No...," suara Ale memecah kebisuan.
Retno menoleh.
"Kamu agak kurusan."
"Benarkah?" Mata Retno begitu indah.
Ale mengangguk.
"Mama juga bilang begitu. Saya sekarang agak kurusan. Mungkin karena saya terlalu memforsir diri dengan kegiatan sekolah ya, Le? Entahlah. Saya hanya mengikuti saran kamu, bahwa jadi remaja tuh harus kreatif. Harus dapat menggunakan waktu luang dengan berkegiatan, jangan hanya berpangku tangan."
"Kamu tambah dewasa, No." Ale tersenyum. "Tapi kamu juga harus ingat, harus membatasi kegiatan kamu itu. Jangan terlalu diforsir. Nanti kamu malah jadi sakit."
Retno tersenyum. "Makasih, Le. Akan saya usahakan," katanya. "O, iya, Le. Sudah sore. Saya pamit dulu, ya?" Retno bangkit.
Ale melihat jam di dinding ruangan itu. "Oke, deh," balasnya.
"Nonton dan ke toko bukunya nanti saja ya, Le. Kamu nggak marah, kan?"
"Dengan datangnya kamu kemari, itu pun kamu sudah membayar janji kamu, No. Saya bahagia, karena kamu begitu memperhatikan saya."
Retno tersenyum mendengar kata-kata Ale. Senyum yang menutupi sesak dadanya. Karena ia ke kosnya Ale juga hanya untuk menutupi kebohongan janjinya kepada Ale.
***
"Retno-nya pergi, Le!" Kata-kata Ratih berkelebat lagi, waktu Ale main ke rumahnya, tadi.
Ale sempat tidak percaya. Karena setiap ia ingin bertemu dengan Retno, dibilangnya selalu tak ada, pergi. Apakah kebetulan, setiap kali Ale ingin bertemu dengan gadisnya itu, ditanya selalu pergi?
"Suer, saya nggak bohong. Cuma saya nggak tahu, ditanya pergi ke mana," Ratih menyakinkan, waktu melihat wajah Ale yang tak percaya.
"Serius, Tih?" Ale tersenyum kecut.
Tak menjawab, tapi Ratih mengangguk, pasti.
Ada kecewa, dan tak mengerti, Ale pulang kembali.
"Le...," suara Ratih menghentikan langkah Ale.
Ale menoleh.
"Saya lihat, akhir-akhir ini kamu jarang bersama Retno. Kenapa? Marahan, ya?"
Ale tersenyum. "Nggak, Tih. Kebetulan saja, saya banyak kegiatan. Retno juga."
Ratih cuma turut tersenyum, dan kembali memandang Ale yang pergi bersama motor trailnya.
Saya rindu kamu, No. Saya kangen kamu. Adakah di hati kamu merasakan perasaan yang sama dengan saya? Ale memarkir sepeda motornya di samping swalayan.
Hari Minggu yang cerah itu toko buku Gramedia Blok M begitu ramai. Ale naik eskalator ke lantai dua. Ia memang ingin mencari buku Pengantar Ilmu Komunikasi.
Ale menuju rak majalah dan koran. Melihat beberapa majalah remaja. Setelah itu, ia mencari buku yang dicarinya. Tapi tiba-tiba, mata Ale milhat sosok gadis di rak buku, novel-novel remaja. Ada senyum, begitu Ale mengetahui siapa gadis itu. Ia lalu melangkah mendekati gadis itu.
"Retno," sapa Ale.
Gadis yang disapa menoleh. "Eh, A-Ale...!"
Retno tampaknya gugup begitu mengetahui yang menyapanya ternyata Ale.
"Saya tadi dari rumah mencari kamu. Kata Ratih, kamu pergi. Ya, sudah. Akhirnya saya kembali. Eh, nggak tahunya bakal ketemu di sini." Ale tersenyum.
Retno semakin gugup, dan agak kikuk.
Ale merasakan itu. "Kenapa, No?" tanyanya, heran.
Retno berusaha untuk menenangkan dirinya. Ia gelisah karena di sampingnya ada Roni.
"Eh, i-ini. Kenalkan, teman sekolah saya." Retno memaksakan senyumnya.
Roni mengulurkan tangan, dan menyebutkan namanya.
Ale membalasnya.
"Kita, pulang, No," ajak Roni. Ada sorot mata tak suka di matanya kepada Ale.
Retno semakin bingung saja mendengar ajakan Roni.
Ale terpaku. Pikirannya langsung sadar dengan kegugupan Retno, sorot mata tak sukanya Roni. Inikah sebabnya kenapa kamu akhir-akhir ini selalu menghindar dari saya, No? Cowok inikah yang membuat kamu selalu mendustai saya?
"Le...." Retno menjadi sangat serba salah.
"Pulanglah, No. Kamu pergi sama dia, pulangnya pun harus sama dia." Ale berusaha mengerti sambil memaksakan senyumnya. Meskipun hatinya saat itu terluka.
Dengan rasa tak enak hati, Retno berjalan mengekor langkah Roni. Matanya tak sanggup lagi menatap atau menoleh ke arah Ale.
***
Pulang sekolah, Retno tampaknya kusut sekali.
"Ada apa, No?" tanya Mama.
Retno memaksakan senyum. "Pusing, Ma. Habis ulangan," urainya sambil masuk kamar.
Di dalam, Retno merebahkan tubuhnya. Kekesalannya yang dibawa dari sekolah langsung ditumpahkannya. Matanya memerah dan berkaca-kaca. Dadanya jadi sesak.
Kamu hancurkan harapan dan hidup saya, Roni! Retno menangis. Ia kesal dengan Roni.
Di sekolah tadi, waktu Retno ingin ke kantin, ia melihat Roni sedang bersama Elisa, bidadari kelas dua, adik kelasnya. Roni terlihat begitu akrab dan mesra dengan Elisa. Retno dibakar cemburu melihat itu semua. Tapi Roni tampaknya malah sengaja. Dia mencubit manja dan tertawa bersama Elisa sambil bercanda. Pulang sekolah, Retno mempertanyakan tentang itu semua.
"Saya nggak menyukai kamu, No. Kamu membohongi saya. Waktu kamu saya dekati, katanya kamu mengaku belum punya pacar. Seminggu yang lalu, waktu kita ke toko buku, kita bertemu dengan seseorang yang tampaknya begitu akrab dengan kamu. Saya tahu, itu pacar kamu. Teganya kamu mendustai dia. Saya berpikir, bahwa kamu nggak pantas jadi pacar saya, karena kamu amat pandai berdusta tentang cinta. Asal kamu tahu saja, No. Saya tak mau mengobral cinta saya. Saya merasa bersalah sekali dengan pacar kamu yang bertemu di toko buku itu, karena seakan merebut kamu dari sisinya. Sekarang, lupakanlah tentang kita," kata-kata Roni yang panjang itu amat menyayat di hati Retno. Sampai sekarang pun masih tersisa.
Retno bangkit dari tidurnya. Memandang sebingkai foto yang ada di atas meja belajarnya. Foto berukuran kartu pos itu adalah foto Ale sewaktu di Rinjani. Retno mengusap permukaan foto itu. Maafkan saya, Le. Saya baru tahu, bahwa kamu begitu berarti dalam hidup saya. Saya ngaku salah. Sekarang, saya amat merindukan kamu. Maafkan saya, Le. Retno mengusap butiran bening di wajahnya.
"Retno...! No! Ada Ale," panggilan Mama mengagetkan Retno.
Ale? Dada Retno berdegup kencang. Oh, kamu selalu datang saat saya rindu dan membutuhkan kamu, Le. Retno cepat-cepat membersihkan airmatanya. Ia keluar.
Di ruang tamu, Retno mendapati Ale tersenyum ke arahnya.
"Apa kabar, No?" sapa Ale.
Retno tersipu. Lalu memandang Ale dengan kerut di dahi. Pakaian yang Ale kenakan tidak seperti biasanya. "Mau ke mana kamu, Le?" tanyanya dengan gelora di dada.
Ale kembali tersenyum. "Bukankah kamu pernah bilang, kalau saya naik gunung lagi, kamu akan ikut? Tadi pagi anak-anak pencinta alam di kampus saya ngajakin naik Gunung Salak di Bogor. Kamu mau ikut, No? Sekarang hari Sabtu. Naik Gunung Salak paling cuma satu hari. Hari Minggu sore kita sudah pulang. Tapi sebelumnya, kita ke perkampungan setempat dulu, karena anak-anak ada rencana bakti sosial di sana. Kalau kamu mau ikut, bawalah beberapa potong pakaian kamu yang agak lama, kemungkinan bisa dibagi-bagikan di sana. Pakaian kamu itu bisa berguna," jelas Ale.
Retno tersenyum lebar. Kegembiraan di wajahnya tidak dapat ia sembunyikan. "Saya akan ikut, Le. Saya akan minta izin sama Mama. Mama pasti mengizinkan, karena ini juga masalah bakti sosial. Sebentar ya, Le. Saya salin dulu," kata Retno bersemangat.
Ale memandang Retno yang masuk ke kamar dengan sejuta kebahagiaan, karena ia melihat Retno begitu ceria, tidak seperti sebulan yang lalu, yang kalau bertemu Ale tampaknya kikuk dan diam selalu. Apakah keceriaan kamu adalah kembalinya kamu untuk saya, No? Ale bertanya dalam hatinya.
Beberapa saat kemudian, setelah Retno salin, mengepak ransel dan pamit kepada Mama, mereka pergi dengan motor trail Ale.
"Kita taruh motor dulu, No. Teman-teman menunggu di kampus." Ale melajukan sepeda motornya.
"Naik kereta, dong?" Retno mengencangkan pegangannya di perut Ale.
"He-eh." Ale mengangguk, lalu tersenyum.
Motor terus melaju.
"Le, maafkan saya, ya? Saya telah...."
"Sudahlah," potong Ale. "Dengan maunya kamu ikut saya pun suatu bukti, bahwa kamu memang tetap milik saya. Setiap orang pasti pernah berbuat salah, No. Saya telah memaafkan kekhilafan kamu. Asal jangan berbuat salah kedua kalinya saja. Karena kamu pun tahu, saya amat mencintai kamu," kata Ale.
Retno menggigit bibirnya. Ale begitu bijaksana, pikirnya. Ia amat menyesal, kenapa sempat membagi cintanya kepada cowok lain. Apa yang kurang pada Ale? Mandiri, berprestasi, sederhana, dan... ah, semua yang ada pada diri Ale adalah tipe cowok yang Retno suka, meskipun Ale tidak begitu tampan. Toh ketampanan belum tentu menjanjikan kebahagiaan. Sebab yang Retno tahu lewat baca, kebahagiaan itu ada karena diciptakan. Dan Retno ingin menciptakan segala kebahagiaannya bersama Ale.
Mulai sekarang. ©

memilih kematian

Aku merindukan mati di tangan istriku. Sungguh. Dan bahkan ingin secepatnya terlaksana. Tetapi mungkinkah istriku akan melakukan niatku itu, niat yang jarang diingini oleh suami yang ada di muka bumi ini. Keinginan mati di tangan istri ini tidak kusampaikan secara langsung kepada istriku. Tentunya kalau aku berterus-terang akan jadi hal yang aneh bagi istriku. Yohana, nama istriku itu, pasti akan mempertanyakan diriku kenapa, dan tentunya akan mengatakan aku ini gila. Ah, tidak. Dokter ahli jiwa yang memeriksaku mengatakan bahwa aku telah kembali sehat, alias normal. Jujur saja, aku merasa gemas sekali bila melihat istriku tengah menguliti kulit kentang atau sewaktu dia mengupasi kulit bawang di dapur. Aku ingin yang dikuliti adalah tubuhku.
Namun ketika kudekatkan diriku ke pisau yang dipegangnya, dia malah memelukku dan mengecup bibirku mesra. Mungkin dia mengira aku sedang merajuknya untuk bermesraan. Ah, tidak. Itu salah. Yang kuinginkan adalah kematian yang diproses oleh tangannya. Untuk hal ini aku sabar menunggu. Menunggu istriku kerasukan setan saat melihat diriku jadi sesuatu yang harus dia kuliti, sesuatu yang harus dia sayat-sayat seperti daging rendang, dicacah seperti daging cincang. Aku yakin, suatu saat keinginanku ini pasti terwujud. Tetapi, bukankah aku suami yang sangat dia cintai? Seorang pria terbaik di dalam hidupnya? Apapun anggapannya, aku tetap ingin mati di tangannya.
***
Kesempatan mati di tangan istriku selalu ada. Karena hampir setiap hari istriku belanja sesuatu yang harus dikupasnya menggunakan benda tajam. Semua bahan masakan yang dibelinya harus diracik dengan menggunakan pisau. Dipotong-potong hingga jadi beberapa bagian. Dan sewaktu istriku mencincang seekor ayam untuk digoreng, aku dekatkan leherku ke atas talenan dimana pisau yang dipegang istriku sedang berjalan-jalan di atas talenan itu. Istriku terhenyak.
"Apa-apaan sih kamu, Mas!" hardiknya sambil mengelakkan pisau yang dipegangnya dari leherku.
Dan sekali waktu, pernah kucoba lagi mendekatkan diriku di saat dia sedang mengiris-iris daging untuk dibuat rendang. Aku letakkan leherku di atas talenan secara tiba-tiba. Istriku menjerit karena hampir saja pisau yang dipegangnya mengenai leherku. Seketika itu juga pisau yang dipegangnya dia lempar ke pojok dapur. Lalu istriku memelukku dan meminta maaf atas keteledorannya. Sejurus kemudian dia menarikku ke dalam kamar. Membuka seluruh pakaianku. Beberapa menit kemudian dia membangkitkan gairah kelelakianku. Sejenak aku dibuat melayang. Akhirnya kami letih bersama. Setelah selesai, kepalaku diberi bantal dan kemudian disuruhnya aku tidur. Sialan! Aku benar-benar tertidur karena kecapekan.
Aku merindukan mati di tangan istriku. Sungguh. Dan kalau bisa secepatnya. Pasti asyik. Dan aku tak akan kecewa. Supaya niatku terlaksana, aku harus membuat istriku kesal dan sakit hati. Dengan begitu dia pasti kesal bahkan benci. Jika terus-menerus kubuat hatinya jengkel, lambat laun niat membunuh akan muncul dalam dirinya. Tetapi bagaimana, apakah aku bisa mempengaruhi setan agar mau menggoda hatinya untuk membunuhku tanpa rasa kasihan barang sedikit pun? Harus dicoba terus.
Suatu hari, istriku mengantarkan aku pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kesehatanku. Katanya, di belakang kepalaku terdapat benjolan sebesar bola pingpong. Setelah kuraba, ternyata memang ada benjolan di belakang kepalaku. Tetapi kata dokter yang memeriksanya, benjolan di belakang kepalaku tidak mengkhawatirkan. Nanti akan kempis sendiri. Aku baru ingat, benjolan itu timbul sewaktu istriku mendorong diriku ke tembok untuk menghindari sayatan pisau yang dipegangnya karena nyaris mengenai leherku. Memang waktu itu aku kembali dengan sengaja meletakkan kepalaku di atas talenan tempat istriku mencincang daging. Istriku menjerit dan segera mendorongku ke tembok. Dari situlah mungkin timbul benjolan di belakang kepalaku. Anehnya, saat itu istriku menangis karena merasa telah mengasariku. Sedangkan aku sendiri merasa menyesal kenapa istriku begitu sigap dan cepat menghindari kecelakaan yang akan menimpa diriku. Padahal sudah jelas kecelakaan itu aku yang merencanakan. Kini aku kembali berusaha agar istriku lengah. Sehingga kemana pun dia pergi aku wajib mengikutinya. Siapa tahu istriku lengah sewaktu akan melakukan pekerjaan yang menggunakan pisau.
"Yohana, kamu tidak beli daging lagi? Aku kepingin daging empal," tanyaku manja.
"Untuk makan hari ini sudah tersedia. Sekarang kamu mandi saja dulu," sahutnya.
"Aku mau mandi bersamamu," rajuk kemudian.
Istriku mengiyakan. Lalu kami masuk ke dalam kamar mandi. Kami telanjang. Terus saling sabunan. Tetapi tiba-tiba aku melihat beberapa ekor kecoa keluar dari lubang pembuangan air. Istriku tidak menjerit. Justru aku yang kaget dan jijik melihat kecoa yang begitu banyak keluar dari lubang pembuangan air itu.
"Tenang sayang," kata istriku sambil mengambil batu bata yang biasa digunakan untuk mengganjal daun pintu kamar mandi. Batu bata yang ada digenggamannya itu sertamerta dihantamkan ke tubuh kecoa itu berkali-kali. Ditumbukinya tubuh para kecoa yang terjebak di lubang pembuangan air itu sampai hancur. Oh, aku iri terhadap para kecoa yang dibantai istriku. Kecoa-kecoa itu mati dihantam batu bata. Tetapi aku sungguh amat menyesal, kenapa bukan diriku sebagai kecoa yang dibantai istriku di kamar mandi.
Pada hari berikutnya, istriku membeli ikan lele hidup. Banyak setengah kilo. Ikan lele itu dibawanya ke dapur. Aku mengikutinya dari belakang. Lalu ikan lele itu dituangkan ke lantai tempat mencuci perabotan dapur. Dengan menggunakan batu ulekan, kepala ikan lele itu dihantam satu persatu. Ikan-ikan itu menggelepar karena menahan rasa sakit. Ada yang baru dua kali hantaman ikan itu mati.
Tetapi ada pula yang baru lima kali pukulan baru mati. Hm, aku sungguh menikmati proses kematian ikan-ikan itu. Sewaktu tinggal dua ekor ikan lagi yang belum kena getok, istriku dikejutkan oleh suara panggilan dari halaman rumah. Istriku hanya menoleh, tak beranjak keluar. Barangkali istriku berpikir tidak ada urusan dengan orang luar. Maka dia sama sekali tidak meresponnya. Pada saat istriku menoleh tadi, secepat kilat aku letakkan kepalaku di antara ikan-ikan yang tengah menunggu dihantam batu ulekan. Kali ini istriku pasti akan lengah atas keselamatanku, dan aku menunggu hantaman batu ulekan yang ada ke kepalaku dengan terpejam. Tetapi apa lacur, istriku justru bangkit dan bergegas menuju ruang tamu karena mendengar telepon berdering. Sialan! Gagal lagi, gerutuku.
***
Aku mulai dihantui rasa kecewa. Bermacam cara sudah aku lakukan untuk membikin panas hati istriku. Bermacam akal sudah kubikin agar istriku lengah pada keselamatan suaminya di rumah. Aku ingin istriku lengah. Aku ingin istriku membenci diriku. Hingga pada akhirnya dia bisa membunuhku dengan pisau atau benda apa saja, yang penting aku bisa mati di tangan istriku. Tetapi semua pancinganku selalu gagal. Akhirnya aku jadi cemas sendiri. Kesal. Gondok. Bosan dan lain sebagainya.
Tanpa sepengetahuan istriku, akhirnya aku pergi keluar rumah. Berjalan kaki menyusur trotoar. Melewati tempat-tempat yang pernah aku singgahi bersama teman, mantan pacar, mantan istriku yang amat kubenci. Atau pun bersama istriku yang sekarang ini. Bernostalgia? Ah, apakah ini jalan kenangan? Kalau iya, untuk apa aku mengenangnya?
Bukankah mengenang masa lalu sama halnya mengenang kebodohan, dengan kata lain sama halnya mengenang ketololan yang pernah kita buat? Dan konon, membuka lembaran lama adalah sebuah kemunduran? Sialan! Masa bodoh! Aku tak peduli. Yang terpenting sekarang ini adalah bagaimana mencari cara agar didalam hati istriku Yohana, timbul rasa kesal yang mengakibatkan punya rasa benci sehingga dia akhirnya membunuhku dengan tangannya sendiri. Itu saja.
Aku terus berjalan menuju jalan raya. Beraneka macam keramaian kulewati. Aku berdiri di atas jembatan layang, menengok ke bawah jembatan. Ratusan kendaraan bermotor deras meluncur di bawahku. Bunuh diri? Pikirku. Oh, tidak. Bukan kematian seperti itu yang kuinginkan. Bukankah sudah kukatakan diawal cerita, bahwa aku kepingin mati di tangan istriku. Titik. Soal kenapa aku memilih mati di tangan istri, jelas ada alasannya.
Selain unik, tentulah nikmat bagiku. Kalau mati dengan cara lain, bagi orang lain mungkin biasa saja. Seperti misalnya menubrukkan diri ke kereta yang sedang berjalan kencang atau ke mobil yang tengah melaju cepat. Atau bisa juga dengan cara gantung diri di pohon.
Tetapi itu sudah bukan berita aneh lagi bagi masyarakat luas. Masyarakat akan mengenang kematian semacam itu pada hari itu saja. Paling banter, tempat yang lebih terhormat untuk membicarakan kematian semacam itu paling-paling pada acara arisan ibu-ibu di rumah RT. Sedang aku ingin punya sensasi tersendiri. Dimana tubuhku dicincang oleh istriku sendiri. Seperti dia mencincang daging, atau sama persis ketika dia memotong ayam menjadi beberapa bagian untuk digoreng. Pasti asyik. Pasti syur.
Tetapi sial! Sewaktu aku sedang membayangkan istriku tengah melakukan penyincangan terhadap organ tubuhku, tiba-tiba sebuah mobil sedan berhenti tepat di depanku. Terputuslah keindahan lamunanku itu. Setan alas! umpatku kesal. Mobil itu datang dari arah belakang lalu mendadak berhenti dengan posisi sedikit menyerong di depanku. Aku diam berdiri menunggu. Ternyata pengemudinya seorang perempuan berkaca mata hitam. Itu kuketahui setelah perempuan itu membuka pintu mobil sebelah kiri. Aku menoleh dan mencoba mengenalinya. Belum jelas siapa perempuan di dalam mobil itu, terdengar suara mengancam.
"Aku minta kamu masuk," perintahnya sambil menodongkan sepucuk pistol ke arahku.
Aku terkejut. Apa-apaan ini? pikirku.
"Cepat masuk! Mencoba lari, mati kamu!" ancamnya lagi.
Didorong rasa takut akhirnya aku masuk ke dalam mobil itu. Perempuan itu membuka kacamatanya. Astaga! Dahlia?! pekikku dalam hati.
Dadaku sontak gemetar. Nama yang sudah sekian lama aku kubur kini tiba-tiba menjelma serigala d idepanku. Kenapa dia ada di kota ini? Bukankah dia semestinya masih berada di dalam penjara karena satu kilogram heroin yang aku taruh di bawah jok mobilnya ditemukan polisi sehingga dia ditangkap sejak lima tahun lalu? Gila! Pengadilan apa ini? Bukankah seharusnya dia mendapat hukuman minimal duapuluh tahun penjara jika seandainya dia terhindar dari hukuman mati? Negara apa ini? Sialan! umpatku dalam hati.
Mobil yang dia kemudikan melesat cepat di jalan bebas hambatan. Pistol di tanganya seakan menjilati rasa ketakutanku. Setelah mobil meluncur deras, Dahlia, mantan istriku pertama yang sering kukhianati dan kutipu gabis-habisan itu tampak mulai menyerocos.
"Setelah kamu berhasil menjebloskan aku ke penjara, lalu menceraikanku tanpa alasan yang jelas, terus kamu kawin lagi dengan Yohana, saingan bisnisku, kamu pikir aku akan menyerah begitu saja, dan bisa melupakan kelicikan kamu yang terang-terangan telah merugikan dirku serta merampas semua yang aku punya? Tidak bisa, Sukandar. Aku sakit hati. Aku dendam terhadapmu. Dan sekarang, nikmati saja pembalasan dari orang yang telah kamu rugikan begitu banyak," kata Dahlia serius.
Aku gemetar. Keringat dingin mengucur di sekujur tubuhku. Aku jadi bingung, hilang akal. Kenapa aku tiba-tiba merasakan takut seperti ini. Takut perempuan sialan itu membunuhku.
Dalam pikiranku yang berkecamuk, mobil yang dikemudikan mantan istriku itu memasuki area perkebunan karet. Mau apa dia? Ingat pada uangnya yang aku curi dan kugunakan untuk kawin lagi dengan Yohana yang sekarang jadi istriku. Ah, istriku! Mendadak aku ingat istriku di rumah. Pasti dia sekarang lagi mencari-cariku untuk diajak makan bersama, ngemil makanan kecil sambil nonton televisi. Pasti Yohana sekarang sedang kelabakan mencari diriku. Kasihan sekali dia. Tetapi bagaimana, apa aku bisa lepas dari cengkeraman manusia satu ini?
"Hai, Sukandar!" Suara Dahlia memotong lamunanku. "Kamu adalah manusia yang paling bejat di dunia ini. Kamu sudah teramat gila! Daripada kamu gila berkepanjangan sehingga merepotkan banyak orang, lebih baik kamu mati saja!"
"Apa, mati?! Oh, tidak! Aku hanya ingin mati di tangan istriku yang bernama Yohana. Bukan kau, kunyuk! tukasku dalam hati. Tetapi Dahlia makin bengis. Ludahnya berkali-kali mendarat ke wajahku. Aku naik pitam. Ingin sekali mencekik lehernya, atau menghantamkan benda apa saja ke tubuhnya jika ada kesempatan. Tetapi tidak kutemukan satu pun benda keras di dalam mobil untukku melawannya. Dahlia ternyata mengendus rencanaku. Maka dia mendorong punggungku dengan pucuk pistolnya keluar dari dalam mobil. Aku sedikit lega berada di alam terbuka. Banyak kesempatan untuk melawannya. Aku melihat sebatang kayu tergeletak di tanah. Aku buru kayu itu untuk kuhantamkan ke tangannya yang tengah memegang pistol. Tetapi lagi-lagi Dahlia membaca gelagatku. Satu tembakan diarahkan ke sebatang kayu yang gagal kuraih. Aku terkejut. Aku jadi amat takut sekali.
"Untuk sekedar kamu tahu, letusan pistolku tadi tak akan terdengar oleh siapa pun. Kamu jangan berharap akan ada orang lain datang ke sini untuk menyelamatkanmu. Hutan ini cukup sepi. Aku akan leluasa menghabisi nyawamu dengan caraku sendiri. Paham?"
Ketakutanku semakin menyengat. Tenagaku seperti terbenam di lumpur. Kerongkonganku kering dan lidahku berat mengucap. Sejenak aku melihat pistol yang tergenggam Dahlia semakin tegak mengarah ke tubuhku.
"Jangan Dahlia... aku mohon jangan lakukan. Kasihani aku, Dahlia," ratapku sambil bersujud di atas rumput. Meratap di bawah kakinya. Aku menghamba sebisa mungkin. Tetapi sia-sia. Dahlia minta aku kembali berdiri. Dan seiring kelelawar-kelelawar hutan keluar dari sarangnya pada senja hari, saat itu pula Dahlia menembakkan pistolnya ke dada kiriku, ke dada kananku, dan terakhir pistolnya itu ditembakkan ke perutku.
Tiga peluru bersarang di tubuhku. Habislah aku.
Tetapi kematian seperti ini sungguh bukan yang aku inginkan! ©

Bayangan yang hilang

Parno semaput. Bayangannya tiba-tiba hilang. Sedang bayangan teman-temannya tetap ada menjulur sekian derajat ke sebelah barat.
"Lho, bayanganku mana?" serunya terkejut.
Teman-temannya saling pandang.
"Kok bayanganku tak ada?" Parno berlari ke sungai. Ia bertambah panik karena bayangan dirinya tak menampakkan wujud aslinya. Tuhan tak adil! Bukankah aku belum mati, dan kenapa bayanganku tak ada?! gerutunya dalam hati.
"Ragil, kamu lihat bayanganku?" tanya Parno sekembali dari sungai.
"Tersangkut di pohon barangkali!" sahut Ragil sekenanya.
"Jangan bercanda kamu, Gil!" hardik Parno kesal.
"Bukannya kamu yang bercanda dengan pertanyaanmu itu?"
"Aku serius, Gil. Coba lihat, bayanganku tidak ada, kan?"
Ragil memperhatikan tubuh Parno yang berdiri tegak. "Gila! Tak ada bayangannya!" teriaknya tak sadar. Terus memanggil teman-temannya yang lain. Teman-teman lainnya pada bingung.
"Eh, ke mana bayangan diri kamu, Parno?" tanya Parmin terheran-heran.
Lalu Darto mengelilingi tubuh Parno, " Kok bisa ya, bayanganmu tidak kelihatan? Sedang matahari begitu tajam menyorot kita!" Akhirnya ketiga temannya itu kabur meninggalkan Parno yang bingung, berteriak sendirian:
"Bayangan Parno hilang! Bayangan Parno hilaaannngg!"
***
Kejanggalan yang dirasakan Parno tidak akan diketahui orang lain jika Parno tidak over akting. Tapi karena Parno sering panik sendiri akhirnya semua orang jadi tahu kalau kepanikan Parno itu dikarenakan ia merasa kehilangan bayangannya sendiri. Orang-orang yang akhirnya jadi pada tahu itu, akan memperhatikan tindak-tanduk Parno jika lewat di depannya. Akibatnya Parno jadi sering salah tingkah atau menjauhkan diri dari terik matahari agar 'kejanggalannya' tidak begitu tampak. Parno akhirnya sering memilih berjalan di tempat yang teduh atau membawa payung untuk menghindari sorot matahari.
"Lihat si Parno, kayak banci saja siang-siang begini pakai payung!" celoteh Mirjan yang tidak tahu masalah yang sedang dihadapi Parno.
Orang-orang yang melihatnya pada tertawa.
"Pantatnya sambil digoyang, dong," teriak Gojek memberi aplus.
Parno jadi serba-salah. Tujuannya bawa payung untuk mengelabui orang-orang yang tidak tahu bila dirinya sudah tidak punya bayangan. Bukan untuk bergaya. Sial! gerutu Parno, kesal.
Di rumah, Parno merenung. Kenapa ia kehilangan bayangan dirinya. Apakah bayangan diri itu bisa hilang seperti barang-barang lainnya? Misalnya seperti benda-benda yang ada di dalam rumahnya? Kalau dicuri, apa bayangan bisa dijual? pikiran Parno mulai ngelantur. Mau cerita kepada ibunya, tak mungkin karena ibunya sudah lama meninggal.
"Rini, apakah kamu punya bayangan?" tanya Parno kepada adiknya yang sedang asyik membaca buku.
"Bayangan apa maksud, Mas?"
Parno menarik tangan adiknya terus diajak keluar rumah. "Coba kamu berdiri tegak," pinta Parno.
Rini yang masih bingung itu menuruti saja perintah kakaknya. Rini menegakkan diri di bawah matahari. "Nah, tuh kan, kamu punya bayangan. Tapi kenapa...," Parno tak meneruskan ucapannya.
"Kenapa apanya, Mas?" kejar Rini semakin tak mengerti.
"Kamu tidak melihat, Rin? Kamu tidak melihat bayangan yang lepas dari tubuhku?"
Sang Adik memperhatikan tubuh kakaknya dari kepala sampai ke kaki. "Hah! Mas Parno tidak punya bayangan? Ba-Bapaaakk," Rini berlari ke dalam rumah meninggalkan Parno sambil berteriak-teriak memanggil ayahnya.
***
"Kurang ajar! Siapa yang mencuri bayanganku?" tukas Parno sambil berjalan menuju stasiun siang itu. Kereta tiba-tiba lewat di jalur sebelahnya. "Kereta saja punya bayangan, masak aku tidak!"
Kereta yang baru datang itu berhenti di jalur empat. Para penumpang berhamburan keluar sambil menenteng bawaannya melewati Parno yang tengah dilanda kebingungan yang amat sangat. Parno melihat semua penumpang yang turun dari kereta memiliki bayangannya sendiri-sendiri. Ini benar-benar aneh, pikirnya. Lalu ia berdiri di dekat WC umum, tujuannya untuk menghindari terik matahari. Ia melihat kantin. Beberapa orang tengah makan siang di kantin itu. Glek! Jakun Parno bergerak naik turun. Lapar di perut Parno menguap. Parno masuk ke kantin, pesan makan dan air teh dingin. Selesai makan ia keluar stasiun, berjalan menuju pasar. Para pedagang kaki lima berjajar di sisi trotoar.
"Jambret. Jambreeett!" teriak seorang ibu tepat di sebelah Parno. Para pedagang kaki lima berhamburan ke tengah jalan setelah mendengar perempuan itu berteriak.
"Mana jambretnya, Bu?" tanya tukang pakaian dalam.
"Ituu!"
"Yang ini?!" teriak tukang buah sambil membawa pisau menunjuk ke arah Parno.
"Bukan, bukan itu. Tapi yang bawa tas Ibu itu. Itu...." seru perempuan itu sambil menuding-nuding seorang lelaki yang matanya beringas.
Namun tidak diduga, tiba-tiba saja lelaki itu ikut-ikutan berteriak maling sambil menunjuk ke arah Parno. Tapi Parno kali ini cerdas, ia yang sudah kehilangan sejak lama, balas berteriak dan balik menuding maling ke arah lelaki itu.
"Ini dia malingnya!" teriak Parno langsung. "Orang ini yang mencuri bayangan saya!"
"Betul, dia malingnya!" balas perempuan yang tasnya dijambret tanpa peduli apa yang dimaksud Parno.
Para pedagang yang sudah kalap menyergap lelaki itu dengan benda apa saja. Seakan tak ada kompromi lagi bagi pejambret atau pencuri, pelaku langsung diseret, digebuk, ditendang, dihantam sampai bonyok.
"Bakar saja!" teriak seseorang dari dalam kerumunan.
"Betul! Biar tahu rasa dia!" sambut pengamen pasar menimpali.
Seorang yang terpancing amarahnya sertamerta menyiramkan minyak tanah ke tubuh pejambret itu dengan leluasa. Tanpa dikomando, seseorang lagi langsung menyalakan korek api dan melemparkannya ke tubuh pejambret itu hingga menyala besar. Pejambret yang sudah babak belur itu langsung kelojotan dilalap api. Hanya beberapa menit, pejambret naas itu tewas ditempat.
Sadis! gumam Parno. Dan ketika polisi datang, para penjagal sudah bubar.
Tak ada yang ditangkap, kecuali beberapa orang dimintai keterangannya mengenai peristiwa pembakaran orang hidup-hidup di tengah jalan, termasuk perempuan yang jadi korban pejambretan.
"Eh, Mas! Kamu tidak ikut ke kantor polisi?" tanya tukang buah kepada Parno.
"Ah, itu tidak penting. Yang penting sekarang, saya harus menemukan bayangan saya! Paham?"
Tukang buah itu terlolong.
***
"Bapak tahu di mana bayangan saya?" tanya Parno kepada tukang parkir. Karuan saja tukang parkir itu terbengong-bengong ditanya seperti itu. "Bapak tahu kan, Pak?"
"Ah, cari saja sendiri!" sahut tukang parkir sambil mencibir.
Parno mendatangi tukang rokok dan bertanya lagi seperti yang ia lakukan kepada tukang parkir tadi.
"Maaf anak muda, bayangan kamu tidak ada di sini. Sana, cari saja di rumah sakit!"
"Terima kasih atas petunjuknya, Pak."
Tukang rokok itu tertawa, "Baru buka sudah disatroni wong edan!" dengusnya. "Cari saja sampai bodoh di rumah sakit jiwa! Dasar gila!"
Parno tidak ke rumah sakit, melainkan berjalan menuju tempat pembuangan sampah.
"Pak! Paaak! Itu Mas Parno, Paaak!" teriak Rini yang mendadak melihat kakaknya berada di tempat pembuangan sampah sedang mengorek-ngorek tumpukan sampah dengan kakinya.
"Parnooo...." suara sang Ayah terdengar satir, memanggil. Parno yang masih asyik mengais di tumpukan sampah. "Parno!"
Parno menoleh.
"Sudah kau temukan bayanganmu, Nak?" tanya sang Ayah, menyembulkan seulas senyum.
"Belum, Pak. Apa Bapak menemukan?"
"Sudah, Nak. Sekarang bayanganmu ada di rumah!"
Parno girang. Ia berjingkrak. Teman-teman Parno terkekeh.
Bahkan tawa Darto nyaris tak bisa dihentikan. Akhirnya mereka beramai-ramai membawa Parno pulang.
***
"Sebenarnya, siapa yang menjadikan Parno seperti ini?" tanya Pak Bejo, orangtua Parno kepada teman-temannya setelah Parno 'dikamarkan'.
"Begini, Pak," Darto menyambar duluan pertanyaan Pak Bejo. "Kalau kita membantah apa yang dikatakan Parno mengenai bayangannya yang hilang, kami bisa celaka, Pak. Bahkan, kita-kita ini pernah kena pukul gara-gara membantah apa yang dia katakan."
"Benar, Pak. Kalau Parno memberitahukan bayangan dirinya hilang, kita harus spontan terkejut atau pura-pura kaget. Kalau tidak, bisa gawat Pak. Kepala ini, bisa ditimpuk pakai batu!" timpal Parmin sambil menyorongkan kepalanya ke hadapan Pak Bejo.
Pak Bejo terenyuh.
"Iya, Pak," Rini menimpali. "Kalau Rini tidak menjerit sambil berlari waktu itu, rambut Rini bisa dijambaknya. Pokoknya, apa yang dibilang Mas Parno, kita harus pura-pura terkejut, dan pura-pura mencari apa yang Mas Parno cari!"
Pak Bejo makin sedih hatinya. "Tapi kenapa kalian baru ngomong sekarang, heh? Kalian juga sama gendengnya kalau begitu!"
"Tapi Parno tidak bahaya lho, Pak," kata Darto tenang.
Mata Pak Bejo melotot. "Tidak bahaya, dengkulmu! Wong syarafnya terganggu kok dibilang tidak bahaya. Aneh sampean ini!"
"Yang saya tahu," Ragil buka suara, "Parno jadi begini karena dia tidak punya cita-cita, tidak punya masa depan. Jangankan masa depan, masa lalunya pun Parno lupa. Nah, bagaimana Parno merasa tidak punya bayangan diri, kalau dia sendiri tidak pernah membayangkan sesuatu!"
Pak Bejo makin bingung. Apa ini gara-gara aku jarang di rumah? Tidak dekat dengan anak-anak? Jarang berdiskusi? Tidak terbuka dengan mereka? Apa Parno tahu kalau aku suka....
Pak Bejo tidak kuasa melanjutkan perkataan yang melintas di benaknya. Lalu lamunannya terputus oleh suara Parno yang terdengar nyaring dari dalam kamar:
"Paaakk! Bayangan Parno mannaaaa!" ©

Rabu, 09 Maret 2011

cerpen

                                                                                                                                                                                                          
                                        MEMPROMOSIKAN SEBUAH BARANG    



      Suatu hari dipeng hujung bulan maret 1992 lalu dessk ke budayaan kompas mengadakan buka puasa bersama dengan para seniman yang tingal di jakarta. kebiasaan ini berawal tahun sebelum nya yang tampak nya akan menjadi tradisi.kesempatan seperti ini biasanya jadi kesempatan baik untuk bertukar pikiran,baik antara redaksi kompas dengan para senima, maupun antar seniman sendiri.
     Berbuka puasa tahun ini di isi oleh sebuah acara tungal: penyampaian saran,gugatan dan uneng-uneng terhadap kompas.maka,berhamburanlah gugatan dan uneng-uneng,yang di terima dengan senang hati, karena memang hal itu lah yang di kehendaki agar kompas bisa terus berdenah diri
       Tentu bukan hanya uneng-uneng dan gugatan yang tampil.saran juga ada salah satu saran yang menarik justru tampil tidak dalam acara resmi,tetapi acara berbincang bincang di luar.Ikra negara,Sutardji Caljaum Bachri Afrizal Malna dan Hamsad rangkuti menyodorkn sebuah gagasan agr kompas setahun sekali menerbitkan cerpen pilihan, yang biasanya di muat setip hari minggu.suatu yang terbaik di pilih untuk di beri penghargaan kusus.
         Saran ini keesokan hari nya di bawa ke dalam rapat redaksi dan langsung di setujui.sebuah tim.ini bertugas memilih 15 cerpen yang akan diterbitkan  dalam bentuk buku, memilih yang terbaik untuk di beri penghargaan khusus,memilih dan menghubungi Subagio Sastro wardoyo dan Nirwan dewan nirwanto yang di tugusi untuk memberi komentar pada cerpen-cerpen pilihan itu dan tentu saja mempersiapkan naskah siap cetak untuk di serahkan ke percetakan. pilihan du nama ini sekadar di dasarkan pada perwakilan angkatan yang senior dan junior
            tim terdiri dari Evik mulyadim{EDITOR DES KEBBUDAYAAN } Donsabdono {editor naskah fiatur}Hendri CH bangun reporter senior des olah raga yang juga sarjana serta lulusa UI} maria harta ningsih {reporter senior }dan J.B.Kristalto koordi nator tajuk rencana pemilihan anggota tim ini sesuai dengan tradisi kompas yang merupakan harian umum.salah satu syarat naskah yang layak muat adalah naskh itu harus bisa di pahami oleh hal layak pembaca sepuas mungkin.swesuai dengan syarat itu dan sesuai dengan tradisi tadi maka pemilihan anggta tim didasar kan pada latar belakang yang berbeda beda
           tim harus bergerak cepat karna buku kumpulan cerpen pilihan kompas 1992 ini harus bisa terbit pada hari ulang tahun kompas yang jatuh pada tangal 28 juni 1992.pilihan percetakan mengajukan jadwal yang sangat ketat karna pekerjaan dadakanini mengharuskan mereka mengatur kembali jadwal padat yang sudah tersusun semua pihak yang sudah memberikan pesanan pada percetakan  gramedia tidak boleh ada yang di rugi kan
             syukur bahwa akhir nya semua bisa terlak sanakan dalam suasana tegesah-gesah seperti ini tentu tidak semua terjadi dengan sempurna.salah satu kekurangan yang mudah di jumpai pada penerbitan ini adalah tiadanya geografi penulis cerpen petaka kampas yaitu saudara putri Hambi kami terus berusaha mencari nya namun hinga naskah ini harus naik cetak belum juga bisa di jumpai surat yang kami kirim kan,kembali lagi dengan catattan sudah pindah alamat.degan segala ke kurangan yang ada kami berharap usaha pertama ini bisa di terima dengan baik kami juga berharap usaha ini bisa berlanjut terus karna kami ingin hal ini bisa terjadi tradisi taunan kompas \ 
             kepada semua pihak yang sudah membantu usaha penerbitan ini yang namanya tidak bisa di sebutkan satu persatu kami mengucapkan terimakasih
               
               ANALISIS
     Cerpen yang berjudul mempro musikan sebuah barang yang di karang oleh redaksi kompas yang bertema kekompakan redaksi kompas dengan jalinan atau rangkain cerita yang di kemas dengan baik yang di kemas jalinan yang tepat di pahami membaca di awali pengarang desk kebudayaan kompas mengadakan buka puasa bersama dengan para seniman yang tingal di jakarta. kebiasaan ini berawal tahun sebelum nya yang tampak akan menjadi tradasi kesempatan seperti ini biasa nya jadi kesempatan baik untuk bertukar pikiran baik antara redaksi kompas dengan para seniman maupun antara seniman sendiri
       Dengan menyampaikan jalan cerita yang mengarah kedepan atau alur cerita maju,cerita pendek ini semakin menarik apa bila seting cerita yang memang cocok dengan kondisi tokoh saat ini di sebuah rumah sakit tentunya denganlatar kesedihan dan di sebuah ruang rawat
          

cerpen

pada suatu hari tinggallah seorang sepasang kekasih yang sedang jalan - jalan tanpa sengaja sepasang kekasih itu di tabrak bis dan akhirnya mereka meninggal bersama.