Kamis, 10 Maret 2011

Cinta yang sempat hilang

Ucapan salam yang disusul oleh ketukan pintu itu membangunkan Ale dari tidurnya. Ia lalu melangkah, karena suara itu amat dikenalnya.
Pintu terkuak. Seorang gadis manis dengan bola mata indah berdiri di hadapan Ale.
Ada senyum. "Kata Mbak Ratih, kamu tadi ke rumah?"
Ale mengangguk sambil membalas senyum gadis itu.
"Maaf ya, Le. Ada eskul tadi di sekolah, jadinya pulang agak terlambat."
"Sudahlah. Kamu masuk dulu, No. Ceritanya nanti saja di dalam." Ale melebarkan daun pintu. Retno melangkah masuk tanpa kata.
"Pulang sekolah, kamu langsung kemari?" tanya Ale, setelah mereka duduk.
Retno mengangguk. Ia menarik napas panjang dan mengeluarkannya pelan-pelan. Tampak lelah, raut wajahnya. Ale memandang gadisnya itu. Saya sayang kamu, No, gumam hatinya.
Ale tersenyum dan menggeleng pelan.
"Selesai eskul tadi, saya disuruh mengawasi anak kelas satu dan kelas dua yang lagi pada latihan paskibra. Awalnya sih saya menolak, karena saya ada janji dengan kamu. Tapi, Pak Indra mendesak saya agar mengawasi sekaligus memberi pengarahan kepada anak-anak tersebut. Beliau bilang, sayalah yang lebih mengerti tentang paskibra. Ya, sudah. Akhirnya saya nggak bisa menolak."
"Saya mengerti, No," kata Ale. "Saya malah bangga kamu banyak kegiatan. Ke toko buku dan nonton, itu kan masih banyak waktu."
Retno tersenyum. "Makasih, Le, kamu mau ngertiin saya."
Ale balas tersenyum. Cinta memang butuh pengertian, No! batinnya. Tapi, kenapa kamu harus berduspa kepada saya? Tadi saya ke sekolah kamu, No. Hendak menjemput kamu. Nggak ada eskul, dan nggak ada latihan paskibra di sana. Kenapa kamu harus berbohong pada saya, No? Ayolah, cerita kepada saya, ada apa dengan kamu? Karena saya amat mencintai kamu.
"Kapan naik gunung lagi, Le?" Pertanyaan Retno membuyarkan lamunan Ale.
Ale menoleh. "Mungkin liburan semester. Kuliah dan kegiatan amat menyita waktu saya," jawabnya.
"Nanti saya ikut lagi ya, Le," pinta Retno. "Saya sangat suka dengan suasana pegunungan. Alam hijau, sungai, dan ternak-ternak tani. Jakarta sumpek ya, Le. Polusinya sangat berbahaya."
Ale tersenyum mendengar kata-kata Retno yang agak puitis itu. Ia jadi teringat kembali awal pertemuan dengan Retno.
Waktu itu, Ale sedang melihat pesta seni pelajar se-DKI Jakarta di Bulungan. Ia yang sebagai wartawan lepas di sebuah majalah remaja, tertarik dengan seorang gadis yang telah memenangkan lomba baca puisi. Retno nama gadis itu.
Lewat situlah akhirnya mereka jadi akrab. Ale suka main ke rumah Retno, sementara Retno sering main ke kosnya Ale. Mereka sering bertemu, sering jalan sama-sma. Akhirnya, timbul rasa suka di hati mereka masing-masing. Mereka berpacaran.
"Kamu masih menulis cerpen, Le?" tanya Retno.
"Masih." Ale tersenyum.
"Tapi kok sekarang saya jarang lihat. Setiap saya baca tulisan kamu, paling wawancara profil, atau liputan remaja. Kenapa, Le?"
Ale kembali tersenyum. Ia amat suka dengan pertanyaan Retno itu. "Saya menulis cerpen kalau lagi ada ide. Kalau lagi suntuk, mumet, atau pusing, saja jarang bisa nulis cerpen," kata Ale.
"Berarti, saat ini kamu lagi suntuk, Le? Suntuk karena apa?"
Ale agak gugup ditanya seperti itu. "Saya rasa, setiap penulis pasti pernah merasakan kesuntukan, No. Itu biasa. Begitu pun yang terjadi dengan saya," jawabnya, setelah diam beberapa detik.
Retno memandang Ale dalam, seperti minta kebenaran dalam perkataannya.
Ale cuma mengembuskan napasnya. Sebenarnya, saya suntuk karena memikirkan kamu, No. Sekarang, sepertinya kamu berubah. Kita jarang ketemu lagi. Kamu terlalu banyak alasan untuk menghindar dari saya. Bahkan tadi, kamu sudah berani berbohong kepada saya. Kenapa ini, No?!
Apakah kamu sudah nggak menyukai saya lagi?! Atau kamu sudah bosan pacaran dengan saya?!
***
Diam-diam, Retno menyalahkan dirinya atas perbuatannya selama ini. Maafkan saya, Le. Akhir-akhir ini, saya sering mendustai kamu. Seharusnya, hal itu nggak pantas saya lakukan. Karena kamu begitu baik sama saya, kamu begitu mencintai dan menyayangi saya. Dan itu saya rasakan selama ini. Tapi... pantaskah saya untuk kamu cintai lagi, Le? Saya telah mendustai kamu, batin Retno.
Tadi, sebenarnya Retno pergi dengan Roni. Padahal sebelumnya, ia sudah janjian dengan Ale mau nonton dan ke toko buku. Tapi pesona Roni telah membuat Retno lebih baik mengingkari janjinya dengan Ale. Apalagi Roni, sang Ketua OSIS itu begitu banyak dikagumi oleh cewek-cewek di sekolahnya.
Kebanggaan?! Dapat menjadi pacar Roni memang suatu kebanggan. Tapi mendustai cinta tulus Ale, apakah suatu kebanggaan? Oh, ada sesak di dada Retno.
"No...," suara Ale memecah kebisuan.
Retno menoleh.
"Kamu agak kurusan."
"Benarkah?" Mata Retno begitu indah.
Ale mengangguk.
"Mama juga bilang begitu. Saya sekarang agak kurusan. Mungkin karena saya terlalu memforsir diri dengan kegiatan sekolah ya, Le? Entahlah. Saya hanya mengikuti saran kamu, bahwa jadi remaja tuh harus kreatif. Harus dapat menggunakan waktu luang dengan berkegiatan, jangan hanya berpangku tangan."
"Kamu tambah dewasa, No." Ale tersenyum. "Tapi kamu juga harus ingat, harus membatasi kegiatan kamu itu. Jangan terlalu diforsir. Nanti kamu malah jadi sakit."
Retno tersenyum. "Makasih, Le. Akan saya usahakan," katanya. "O, iya, Le. Sudah sore. Saya pamit dulu, ya?" Retno bangkit.
Ale melihat jam di dinding ruangan itu. "Oke, deh," balasnya.
"Nonton dan ke toko bukunya nanti saja ya, Le. Kamu nggak marah, kan?"
"Dengan datangnya kamu kemari, itu pun kamu sudah membayar janji kamu, No. Saya bahagia, karena kamu begitu memperhatikan saya."
Retno tersenyum mendengar kata-kata Ale. Senyum yang menutupi sesak dadanya. Karena ia ke kosnya Ale juga hanya untuk menutupi kebohongan janjinya kepada Ale.
***
"Retno-nya pergi, Le!" Kata-kata Ratih berkelebat lagi, waktu Ale main ke rumahnya, tadi.
Ale sempat tidak percaya. Karena setiap ia ingin bertemu dengan Retno, dibilangnya selalu tak ada, pergi. Apakah kebetulan, setiap kali Ale ingin bertemu dengan gadisnya itu, ditanya selalu pergi?
"Suer, saya nggak bohong. Cuma saya nggak tahu, ditanya pergi ke mana," Ratih menyakinkan, waktu melihat wajah Ale yang tak percaya.
"Serius, Tih?" Ale tersenyum kecut.
Tak menjawab, tapi Ratih mengangguk, pasti.
Ada kecewa, dan tak mengerti, Ale pulang kembali.
"Le...," suara Ratih menghentikan langkah Ale.
Ale menoleh.
"Saya lihat, akhir-akhir ini kamu jarang bersama Retno. Kenapa? Marahan, ya?"
Ale tersenyum. "Nggak, Tih. Kebetulan saja, saya banyak kegiatan. Retno juga."
Ratih cuma turut tersenyum, dan kembali memandang Ale yang pergi bersama motor trailnya.
Saya rindu kamu, No. Saya kangen kamu. Adakah di hati kamu merasakan perasaan yang sama dengan saya? Ale memarkir sepeda motornya di samping swalayan.
Hari Minggu yang cerah itu toko buku Gramedia Blok M begitu ramai. Ale naik eskalator ke lantai dua. Ia memang ingin mencari buku Pengantar Ilmu Komunikasi.
Ale menuju rak majalah dan koran. Melihat beberapa majalah remaja. Setelah itu, ia mencari buku yang dicarinya. Tapi tiba-tiba, mata Ale milhat sosok gadis di rak buku, novel-novel remaja. Ada senyum, begitu Ale mengetahui siapa gadis itu. Ia lalu melangkah mendekati gadis itu.
"Retno," sapa Ale.
Gadis yang disapa menoleh. "Eh, A-Ale...!"
Retno tampaknya gugup begitu mengetahui yang menyapanya ternyata Ale.
"Saya tadi dari rumah mencari kamu. Kata Ratih, kamu pergi. Ya, sudah. Akhirnya saya kembali. Eh, nggak tahunya bakal ketemu di sini." Ale tersenyum.
Retno semakin gugup, dan agak kikuk.
Ale merasakan itu. "Kenapa, No?" tanyanya, heran.
Retno berusaha untuk menenangkan dirinya. Ia gelisah karena di sampingnya ada Roni.
"Eh, i-ini. Kenalkan, teman sekolah saya." Retno memaksakan senyumnya.
Roni mengulurkan tangan, dan menyebutkan namanya.
Ale membalasnya.
"Kita, pulang, No," ajak Roni. Ada sorot mata tak suka di matanya kepada Ale.
Retno semakin bingung saja mendengar ajakan Roni.
Ale terpaku. Pikirannya langsung sadar dengan kegugupan Retno, sorot mata tak sukanya Roni. Inikah sebabnya kenapa kamu akhir-akhir ini selalu menghindar dari saya, No? Cowok inikah yang membuat kamu selalu mendustai saya?
"Le...." Retno menjadi sangat serba salah.
"Pulanglah, No. Kamu pergi sama dia, pulangnya pun harus sama dia." Ale berusaha mengerti sambil memaksakan senyumnya. Meskipun hatinya saat itu terluka.
Dengan rasa tak enak hati, Retno berjalan mengekor langkah Roni. Matanya tak sanggup lagi menatap atau menoleh ke arah Ale.
***
Pulang sekolah, Retno tampaknya kusut sekali.
"Ada apa, No?" tanya Mama.
Retno memaksakan senyum. "Pusing, Ma. Habis ulangan," urainya sambil masuk kamar.
Di dalam, Retno merebahkan tubuhnya. Kekesalannya yang dibawa dari sekolah langsung ditumpahkannya. Matanya memerah dan berkaca-kaca. Dadanya jadi sesak.
Kamu hancurkan harapan dan hidup saya, Roni! Retno menangis. Ia kesal dengan Roni.
Di sekolah tadi, waktu Retno ingin ke kantin, ia melihat Roni sedang bersama Elisa, bidadari kelas dua, adik kelasnya. Roni terlihat begitu akrab dan mesra dengan Elisa. Retno dibakar cemburu melihat itu semua. Tapi Roni tampaknya malah sengaja. Dia mencubit manja dan tertawa bersama Elisa sambil bercanda. Pulang sekolah, Retno mempertanyakan tentang itu semua.
"Saya nggak menyukai kamu, No. Kamu membohongi saya. Waktu kamu saya dekati, katanya kamu mengaku belum punya pacar. Seminggu yang lalu, waktu kita ke toko buku, kita bertemu dengan seseorang yang tampaknya begitu akrab dengan kamu. Saya tahu, itu pacar kamu. Teganya kamu mendustai dia. Saya berpikir, bahwa kamu nggak pantas jadi pacar saya, karena kamu amat pandai berdusta tentang cinta. Asal kamu tahu saja, No. Saya tak mau mengobral cinta saya. Saya merasa bersalah sekali dengan pacar kamu yang bertemu di toko buku itu, karena seakan merebut kamu dari sisinya. Sekarang, lupakanlah tentang kita," kata-kata Roni yang panjang itu amat menyayat di hati Retno. Sampai sekarang pun masih tersisa.
Retno bangkit dari tidurnya. Memandang sebingkai foto yang ada di atas meja belajarnya. Foto berukuran kartu pos itu adalah foto Ale sewaktu di Rinjani. Retno mengusap permukaan foto itu. Maafkan saya, Le. Saya baru tahu, bahwa kamu begitu berarti dalam hidup saya. Saya ngaku salah. Sekarang, saya amat merindukan kamu. Maafkan saya, Le. Retno mengusap butiran bening di wajahnya.
"Retno...! No! Ada Ale," panggilan Mama mengagetkan Retno.
Ale? Dada Retno berdegup kencang. Oh, kamu selalu datang saat saya rindu dan membutuhkan kamu, Le. Retno cepat-cepat membersihkan airmatanya. Ia keluar.
Di ruang tamu, Retno mendapati Ale tersenyum ke arahnya.
"Apa kabar, No?" sapa Ale.
Retno tersipu. Lalu memandang Ale dengan kerut di dahi. Pakaian yang Ale kenakan tidak seperti biasanya. "Mau ke mana kamu, Le?" tanyanya dengan gelora di dada.
Ale kembali tersenyum. "Bukankah kamu pernah bilang, kalau saya naik gunung lagi, kamu akan ikut? Tadi pagi anak-anak pencinta alam di kampus saya ngajakin naik Gunung Salak di Bogor. Kamu mau ikut, No? Sekarang hari Sabtu. Naik Gunung Salak paling cuma satu hari. Hari Minggu sore kita sudah pulang. Tapi sebelumnya, kita ke perkampungan setempat dulu, karena anak-anak ada rencana bakti sosial di sana. Kalau kamu mau ikut, bawalah beberapa potong pakaian kamu yang agak lama, kemungkinan bisa dibagi-bagikan di sana. Pakaian kamu itu bisa berguna," jelas Ale.
Retno tersenyum lebar. Kegembiraan di wajahnya tidak dapat ia sembunyikan. "Saya akan ikut, Le. Saya akan minta izin sama Mama. Mama pasti mengizinkan, karena ini juga masalah bakti sosial. Sebentar ya, Le. Saya salin dulu," kata Retno bersemangat.
Ale memandang Retno yang masuk ke kamar dengan sejuta kebahagiaan, karena ia melihat Retno begitu ceria, tidak seperti sebulan yang lalu, yang kalau bertemu Ale tampaknya kikuk dan diam selalu. Apakah keceriaan kamu adalah kembalinya kamu untuk saya, No? Ale bertanya dalam hatinya.
Beberapa saat kemudian, setelah Retno salin, mengepak ransel dan pamit kepada Mama, mereka pergi dengan motor trail Ale.
"Kita taruh motor dulu, No. Teman-teman menunggu di kampus." Ale melajukan sepeda motornya.
"Naik kereta, dong?" Retno mengencangkan pegangannya di perut Ale.
"He-eh." Ale mengangguk, lalu tersenyum.
Motor terus melaju.
"Le, maafkan saya, ya? Saya telah...."
"Sudahlah," potong Ale. "Dengan maunya kamu ikut saya pun suatu bukti, bahwa kamu memang tetap milik saya. Setiap orang pasti pernah berbuat salah, No. Saya telah memaafkan kekhilafan kamu. Asal jangan berbuat salah kedua kalinya saja. Karena kamu pun tahu, saya amat mencintai kamu," kata Ale.
Retno menggigit bibirnya. Ale begitu bijaksana, pikirnya. Ia amat menyesal, kenapa sempat membagi cintanya kepada cowok lain. Apa yang kurang pada Ale? Mandiri, berprestasi, sederhana, dan... ah, semua yang ada pada diri Ale adalah tipe cowok yang Retno suka, meskipun Ale tidak begitu tampan. Toh ketampanan belum tentu menjanjikan kebahagiaan. Sebab yang Retno tahu lewat baca, kebahagiaan itu ada karena diciptakan. Dan Retno ingin menciptakan segala kebahagiaannya bersama Ale.
Mulai sekarang. ©

Tidak ada komentar:

Posting Komentar